Jumat, 26 Februari 2010

Anggota DPRD Mandailing-Natal Bawa Nurhabibah ke Rumah Sakit



February 25, 2010
www.liputan6.com

Nurhabibah, balita penderita gizi buruk di Mandailing Natal, Sumut
Panyabungan: Rasa haru bercampur senang terpancar dari mata Fatimah saat mengetahui Nurhabibah akan dirawat di Rumah Sakit Umum Payambungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Selasa (23/2). Nurhabibah yang berasal dari Desa Barbaran Julu, itu menderita gizi buruk sejak lahir.

Salah seorang anggota DPRD Mandailing Natal, Iskandar Hasibuan, sempat mempertanyakan perhatian pemerintah daerah. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat juga dinilainya lalai dalam memantau kondisi kesehatan warga. Ini disampaikan Iskandar ketika menjenguk Nurhabibah di rumah sakit.
Biaya pengobatan Nurhabibah juga ditangani penuh oleh Komisi IV DPRD setempat. Kemiskinan membuat bayi berusia satu tahun ini menderita gizi buruk. Berat badanya hanya enam kilogram, sementara berat bayi normal seusianya adalah 11 kg [baca: Nurhabibah Kekurangan Nutrisi Sejak Lahir]. (OMI/ANS)

http://apakabarsidimpuan.com/2010/02/anggota-dprd-mandailing-natal-bawa-nurhabibah-ke-rumah-sakit/

Minggu, 14 Februari 2010

DEMOKRASI ERA KUANTUM



Oleh Yasraf Amir Piliang

Iklim demokratisasi di atas tubuh bangsa akhir-akhir ini menampakkan watak anomali, ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan tindakan para elite politik yang kian kehilangan tujuan. Alih-alih menjadi agen pembangun karakter, pengayaan makna dan sublimasi kultur demokrasi, para elite politik justru menjadi parasit demokrasi, yang memangsa nilai-nilai kultur demokrasi dari dalam, melalui perilaku ironik mereka di dalam ruang virtualitas media.

Mesin demokrasi yang mestinya dibangun oleh kekuatan pikiran, pengetahuan, dan intelektualitas, kini dikuasai oleh mesin- mesin citra, tontonan, dan teater politik di atas panggung ”masyarakat tontonan politik” (society of political spectacle) yang menyuguhkan aneka artifisialitas, banalitas, dan distorsi politik. Mesin komunikasi politik yang diharapkan dapat mendiseminasi ide, pengetahuan, dan gagasan cerdas politik kini menjadi ajang retorika, parodi, dan seduksi virtual politik. Akibatnya, proses demokratisasi tak mampu membangun arsitektur masyarakat politik yang cerdas, etis, dan estetis karena pendidikan warga (civic education) kini telah diambil alih oleh ”penghiburan warga” (civic entertainment). Elite politik yang mestinya menjadi pelopor pencerahan dan pencerdasan warga justru terperangkap di dalam skema banalitas, artifisialitas, dan virtualitas media (elektronik), yang menyerahkan dirinya pada logika komersialitas, popularitas, dan selebriti media.
Narsisisme demokrasi

Pilar-pilar penyangga arsitektur demokrasi kini tampak kian keropos bukan karena kekuatan eksternal, tetapi oleh parasit internal elite politik. Simbiosis antara mesin politik dan mesin media yang semula diharapkan dapat memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi, kini justru menjadi virus perusak nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri. Dalam simbiosis itu, para elite justru disibukkan oleh hasrat publisitas, popularitas, dan selebriti sehingga melupakan tanggung jawab politik.
Demokratisasi di atas tubuh bangsa ini diuntungkan oleh ”pers bebas” energentik produk reformasi yang memungkinkan ”pasar bebas” ide dan gagasan politik. Sebagaimana dikatakan Robert M Entman di dalam Democracy Without Citizens (1989), kebebasan media mestinya mendorong demokrasi dengan menstimulasi kepentingan politik warga melalui suplai informasi cerdas dan kritis untuk menjaga akuntabilitas pemerintah.

Akan tetapi, selera rendah politik (political kitsch) yang terbangun dalam simbiosis elite politik dan media justru menggiring wacana politik pada watak banalitas politik hampa pengetahuan, pencerdasan, dan pencerahan. Pengetahuan, kompetensi, dan perilaku elite-elite politik nyatanya kian memburuk. Tindak politik yang sama sekali terlepas dari virtue—yang mestinya memberikan efek ”kebaikan” (goodness), ”kemuliaan”, ”keluhuran”, honour, ”pencerahan”, dan ”keotentikan (authenticity)—kini justru menunjukkan watak banalitas, kedangkalan, manipulasi, dan penipuan massa (mass deception). Ruang publik politik tanpa virtue dirayakan oleh para oportunis, narsis, dan selebriti politik, sebagai tempat mendongkrak fame.

Demokrasi kini menjadi ”demokrasi narsisistik” (narcissistic democracy), yang di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) disibukkan mengatur penampilan dan citra diri di depan kamera televisi ketimbang mengasah pisau nalar memikirkan rakyat.
Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism (1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.

Alih-alih menjadi ”subyek politik” yang punya kuasa dan otoritas mengubah struktur wacana demokrasi (discourse of democracy), dengan memperkaya nilai dan maknanya, para elite politik justru menjadi ”obyek wacana”, yaitu individu yang tunduk pada hukum, logika, dan strategi wacana media (televisi) sendiri. Subyek politik larut dalam skema hasrat, fantasi, dan mitos-mitos yang dibangun media, tunduk pada logika citra, fetisisme, dan tontonannya, yang menawarkan dunia gemerlap selebriti.
Irasionalitas demokrasi

Arsitektur demokrasi yang dibangun di atas hegemoni media menciptakan distorsi tujuan masyarakat demokratis itu sendiri karena baik pengetahuan, gagasan, strategi, maupun tindakan politik dikonstruksi di dalam skema logika media. Masyarakat demokratis yang mempunyai rasionalitas sendiri untuk mencapai tujuan dan ideal-ideal kolektif, kini diinfiltrasi oleh ”rasionalitas” media, yang menggiringnya pada tujuan-tujuan yang bias dan distortif.

Rasionalitas politik menyangkut pilihan tindakan dan keputusan politik untuk mencapai tujuan dan ideal-ideal politik tertentu. ”Tindak rasional”, menurut Jurgen Habermas di dalam The Theory of Communicative Action (1984) adalah tindak yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama masyarakat politik (purposive action). Untuk itu, diperlukan ruang publik ideal, tempat berlangsungnya tindak komunikasi politik tanpa tekanan, represi, dan kekerasan. Komunikasi politik pada abad informasi kini memang tak lagi diganggu oleh aneka represi dan kekerasan rezim otoriter—melalui komunikasi satu arah dan satu dimensi—tetapi rawan terhadap manipulasi, distorsi, dan simulasi imagologis karena sifat artifisialitasnya.

Logika artifisialitas dan virtualitas media itu justru yang dapat meruntuhkan bangun rasionalitas politik karena aktor-aktor politik yang terjebak dalam gemerlap selebriti media tak mampu menghasilkan produk keputusan politik yang rasional. Inilah yang terjadi dengan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century.
Pembelokan dari substansialitas politik ke arah artifisialitas politik—tanpa disertai oleh kecerdasan, intelektualitas, dan virtue politik—akan membahayakan sustainabilitas wacana politik bangsa ke depan karena ada distorsi pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi politik yang dikembangkan, yang kini semata diarahkan untuk menggapai popularitas dan selebriti sebagai jalan memperoleh kekuasaan (power). Tak ada ruang bagi pendidikan dan pencerdasan masyarakat politik.

Ironisnya, dalam abad virtual ini, para elite politik tak mampu membangun tindak komunikasi politik efektif dengan warga sehingga tak dapat memproduksi pengetahuan yang diperlukan bagi pencerdasan warga. Komunikasi politik kini memang tidak diganggu oleh tekanan, represi, dan kekerasan simbolik—sebagaimana dalam rezim totaliter— tetapi terdistorsi oleh skema seduksi, retorika, dan simulasi citra banal dan artifisial yang menyumbat saluran pengetahuan substansial dan kebenaran politik (political truth).

Politik abad kuantum

Elite-elite politik abad informasi kini menemukan ruang ”kebebasan” baru yang tak diperoleh sebelumnya. Akan tetapi, sukses mendapatkan kembali ruang kebebasan itu tak berarti sukses membangun arsitektur demokrasi itu sendiri. Kebebasan yang diperoleh oleh para elite politik ataupun warga—tanpa disertai pengetahuan, intelektualitas, dan virtue—hanya menciptakan ”immoralitas politik” (political immorality), yang mendekonstruksi nilai-nilai moral politik. Imoralitas elite politik diikuti imoralitas warga. Peralihan dari geopolitik ke arah politik jejaring (neto-politics), sebagaimana dikatakan Alexander Bard dan Jan Soderquist di dalam Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism (2002) telah mengubah watak demokrasi ke arah ”transparansi ekstrem” (extreme transparency).

Di dalam ”demokrasi ekstrem” ini dimungkinkan ”penelanjangan” apa pun, misalnya, ”penelanjangan” aneka lembaga (kepresidenan, kepolisian, DPR, Bank Century) oleh ”warga virtual’ sehingga tak ada lagi yang dapat dirahasiakan dan disembunyikan. Inilah demokrasi abad kuantum.

Di dalam politik abad kuantum yang dirayakan adalah para ”pencari perhatian” (attentionalist), yaitu elite-elite yang berupaya mencari sanjungan publik melalui seduksi media. Kondisi ini membahayakan masa depan demokrasi itu sendiri, yang digiring ke arah kondisi ”desubstansialiasi demokrasi’ (democratic desubstantiality). Ruang politik tidak dibangun oleh imajinasi dan ideal-ideal politik yang substansial bagi pencerahan masyarakat politik, tetapi oleh ”imajinasi-imajinasi populer” (popular imagination) yang menghadirkan tontonan banalitas dan kitsch politik.

Demokrasi di atas tubuh bangsa yang telanjur berwatak ”liberal”—karena lebih mengutamakan ”kebebasan” (freedom) ketimbang ”keadilan” (justice)—dengan para elite politik berwatak selebriti, telah mengancam kultur demokrasi warisan para founding father. Semangat individualistik, pragmatik, dan selfishness yang menjadi watak ”demokrasi narsisistik” memangsa nilai-nilai virtue yang berakar pada kultur politik bangsa, seraya menghancurkan nilai- nilai kebersamaan, kolektivitas, dan persatuan melalui politik pengabaian rakyat.

Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute; Pemikir Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-ITB (SUMBER: www.kompas.com/ Senin, 15 Februari 2010 | 02:41 WIB

Sabtu, 13 Februari 2010

ETIKA PENDIDIKAN DITINJAU DARI KEARIFAN LOKAL MANDAILING



Oleh Drs. Irsan, M.Pd., M.Si.

A. PENDAHULUAN

Sungguh merupakan satu kebanggan tersendiri bagi penulis karena memperoleh kesempatan menyumbangkan tulisan dalam forum Seminar Nasional dengan tema Etika Pendidikan, meskipun yang melaksanakan seminar ini adalah organisasi profesi di bidang manajemen pendidikan, ISMaPI Sumut. Seminar kali ini bertujuan untuk (1) menelaah etika pendidikan dari berbagai sudut pandang (akademik, birokrat, dan politik), dan (2) mendesiminasikan konsep-konsep baru pengelolaan pendidikan yang beretika berkaitan dengan profesionalisme manajer, supervisor, dan pemimpin pendidikan.

Belakangan ini, didasari atau tidak, sudah banyak praktik pendidikan kita yang dianggap bertentangan dengan etika, baik yang dilaksanakan oleh praktisi pendidikan maupun aparat birokrasi pendidikan. Kasus-kasus tentang ini tentu saja sudah banyak, mulai dari kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, perlakuan tidak adil dan tidak fair dalam pelaksanaan Ujian Nasional, sampai kepada karya ilmiah asli tapi palsu (”aspal”). Pelaksanaan pendidikan yang tidak memiliki etika yang tidak diharapkan diyakini akan berdampak pada masa depan generasi muda. Penerapan etika dalam praktik pendidikan sangat tergantung pula pada kondisi lingkungan masyarakat. Jadi etika pendidikan bukan hanya persoalan internal sekolah semata. Tulisan ini dimulai dengan pengertian etika, kemudian dilanjutkan dengan praktik etika pendidikan ditinjau dari aspek budaya atau adat istiadat yang ada pada kelompok masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan ini penulis anggap sangat penting meskipun tujuan seminar ini tidak mencantumkan secara eksplisit tinjauan dari aspek budaya.

B. ETIKA DAN ETIKA PENDIDIKAN

Dalam bahasa Yunani, etika berasal dari ethos yang berarti sikap dasar atau keyakinan seseorang atau sekelompok orang dalam bidang tertentu (Dictionary of Sociology). Dalam hal ini, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang dikerjakannya salah atau benar, buruk atau baik. Etika merupakan refleksi dari apa yang disebut self control, karena segala sesuatu dibuat dan diterapkan dari dan untuk kelompok masyarakat tertentu.

Di sisi lain, etika juga merupakan filsafat merefleksikan ajaran moral yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika juga merupakan ilmu tentang norma, nilai, dan ajaran moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat diantara sekelompok manusia. Norma moral berkaitan dengan bagaimana manusia hidup supaya menjadi manusia yang baik. Dalam pandangan filsafat, etika tidak mempersoalkan keadaan manusianya, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus berperilaku. Perilaku manusia ditentukan oleh norma, dan norma dapat berasal dari aturan perundangan, agama, maupun kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat.

Etika pendidikan dapat dipahami sebagai nilai-nilai atau norma moral yang dijadikan pedoman perilaku dalam praktik pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Nilai-nilai (values) atau sistem nilai (value system) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Perilaku personal yang dianggap “menyimpang” sering menjadi sorotan masyarakat.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang kehidupan, tuntutan kompetisi global, serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan pendidikan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi kependidikan dalam mengembangkan profesionalisme untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etika dan moral yang tinggi. Sikap profesional yang kokoh dari setiap tenaga kependidikan akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri, dan keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan pelayanan dimana hak dan kewajiban setiap orang selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.

Menarik untuk memahami nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional sebagaimana yang telah dilakukan oleh Taylor, Lillies, dan Mone (1997), yaitu: (1) Aesthetics (keindahan), kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian, seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas, imajinasi, sensitifitas dan kepedulian; (2) Altruism (mengutamakan orang lain), kesediaan memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan; (3) Equality (kesetaraan), memiliki hak atau status yang sama termasuk penerimaan dengan sikap kejujuran, harga diri, dan toleransi; (4) Freedom (kebebasan), memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan termasuk percaya diri, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan diri sendiri; (5) Human dignity (martabat manusia), berhubungan dengan penghargaan yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh terhadap kepercayaan; (6) Justice (keadilan), menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta kewajaran; dan (7) Truth (kebenaran), menerima kenyataan dan realita, termasuk akuntabilitas, kejujuran, dan reflektifitas yang rasional. Ketujuh nilai-nilai esensial tersebut memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dalam kelompok mayarakat tertentu.

C. ORGANISASI SEKOLAH DAN KETERAMPILAN HIDUP

Sejak kita lahir sampai suatu saat meninggal, kita selalu berurusan dengan organisasi. Melalui organisasi, manusia dapat mempertemukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain; misalnya: kepentingan peserta didik, kepentingan guru, kepentingan orangtua (masyarakat), pemerintah. Dengan demikian, organisasi dapat dikatakan sebagai kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan batasan yang jelas dan keterikatan bersama untuk mencapai tujuan.

Telah lama kita pahami bahwa para orangtua menyerahkan urusan pendidikan generasi muda kepada sekolah. Setiap tahun sekolah menerima dan meluluskan peserta didik, maka setiap tahun pula sekolah tersebut dihadapkan kepada peluang dan tantangan. Pada sisi lain, sekolah sebagai lembaga pendidikan didirikan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh seluruh anggota untuk dicapai di masa yang akan datang. Setiap orang bergabung dengan organisasi selalu didasarkan atas pencapaian tujuan tertentu. Dengan demikian, ada kemungkinan terdapat tujuan yang saling bertentangan di dalam sebuah organisasi. Tugas pemimpin adalah menyelaraskan (align) tujuan-tujuan yang saling bertentangan tersebut.
Jika ditinjau dari siklus kehidupan organisasi, maka sekolah juga memiliki daur hidup dan memiliki dinamika tersendiri. Sekolah didirikan, dipelihara, kemudian tumbuh, berkembang baik; atau penuh dengan masalah, mundur, dan kemudian mati atau dimerger. Ada sekolah yang kinerjanya baik sehingga banyak peminatnya, dan ada pula sekolah yang kinerjanya buruk sehingga kurang diminati masyarakat. Ada sekolah yang dapat bertahan lama dan melahirkan manusia-manusia kreatif, namun ada juga sekolah yang hanya terdengar saja karena prestasi lulusannya tidak “diperhitungkan”. Ternyata sekolah seperti makhluk hidup juga. Oleh karena itu, pengelolaan sekolah juga memerlukan landasan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat sekitar sekolah perlu turut serta memiliki dan bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah.

Secara makro, sekolah sebagai sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan, situasi lingkungan global tidak mungkin dihindari tapi harus diantisipasi. Jika dianalisis dari level mikro, maka analisis mengarah kepada pribadi-pribadi anggota organisasi sekolah, meliputi sikap, perilaku, nilai-nilai, motivasi, kepemimpinan, kepribadian, dan lain-lain. Pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) menginginkan agar sekolah dapat bertahan hidup lama dan memberikan manfaat yang besar dalam mempersiapkan menerasi muda untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global. Berkaitan dengan hal ini, Tony Wagner (2008) mengemukakan 7 keterampilan yang perlu dimiliki peserta didik untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global tersebut, yaitu: (1) keterampilan berpikir kreatif dan memecahkan masalah, (2) keterampilan bekerjasama melalui jaringan dan memimpin dengan pengaruh (bukan dengan kewenangan), (3) keinginan yang kuat dan kemampuan beradaptasi, (4) memiliki inisiatif dan jiwa kewirausahaan, (5) berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif, (6) mengakses dan menganalisa informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu yang dan mampu berimajinasi.
Mempelajari sikap, perilaku, dan keterampilan manusia dalam organisasi dan/atau kelompok masyarakat dikategorikan dalam konsep perilaku organisasi (organizational behavior).

Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja ekstra time, membuat penrnyataan positif tentang kelompok, dan menghindari konflik yang tidak perlu merupakan perilaku yang diinginkan karena memberikan dampak positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organiaasi Luthan, 2008; ). Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastian, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi setiap organisasi yang mau belajar (learning organization). Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas p Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja ekstra time, membuat penrnyataan positif tentang kelompok, dan menghidari konflik yang tidak perlu memberikan fungsi positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organiaasi Luthan, 2008; ).

Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastion, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi organisasi. Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas peribadi tidaklah cukup mengingat keberagaman anggota organisasi baik dilihat dari kelompok etnis dan keyakinan mereka akan tradisi. Schermerhorn, Hunt and Orborn (2003) menekankan pentingnya etika dalam berorganisasi, karena seharusnya seluruh tindakan anggota organisasi dilakukan berdasarkan standar etika dan moral. Etika tidak hanya dicatat dalam peraturan organisasi tetapi harus dipraktekkan dalam organisasi, misalnya perlakuan yang adil.

D. KEARIFAN LOKAL MANDAILING

Setiap kelompok masyarakat memiliki apa yang kita kenal sebagai kearifan lokal (local indigenous) sebagai pedoman perilaku bermasyarakat yang bersumber dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Madaling sebagai salah satu kelompok etnis masyarakat di Propinsi Sumataera Utara, memiliki budaya tersendiri yang memiliki kesamaan dengan etnis lainnya. Jadi budaya mandailing tidak hanya dipahami oleh masyarakat sendiri, tetapi juga oleh kelompok etnis lain. Selain itu, kelompok etnis Mandailing, meskipun jauh dari ibukota propinsi Sumatara Utara, akan tetapi telah lama berinteraksi dengan kelompok etnis lainnya. Percampuran budaya antar kelompok etnis sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama sehingga diasumsikan pengenalan terhadap budaya Mandailing bukan lah sesuatu yang sulit.

Oleh karena berbagai alasan, pemahaman dan pelaksanaan budaya Mandailing terus mengalami kemunduran karena pada saat ini lebih sering terlihat dalam upacara-upacara perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing tertentu saja. Itu pun sudah cenderung dilakukan dengan tradisi baru atau menggunakan orang upahan misalnya dalam melaksanakan upacara adat. Sesungguhnya budaya atau adat istiadat Mandailing (demikian pula adat istiadat etnis lain di Sumatera Utara, seperti Batak, Simalungun, Karo, dan lain-lain) itu mencakup seluruh perilaku dan cara hidup (way of life) setiap warga Mandailing. Dikatakan mencakup seluruh perilaku dan cara hidup setiap warga Mandailing karena berisi nilai-nilai budaya (cultural values).

Nilai-nilai budaya Mandailing tersebut berupa norma-norma, kaidah-kaidah, dan aturan-aturan yang dianut dan dipatuhi setiap orang Mandailing dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi atau berperilaku. Meskipun isi dari sistem nilai budaya Mandailing sudah sering diabaikan, bahkan tidak dihayati dan diamalkan, tetapi masih dapat kita temukan misalnya dalam perumpamaan atau dalam nasehat seperti nasehat yang lima (poda na lima), upacara perkawinan, dan lain-lain. Poda na lima sekarang sering dijadikan sebagai slogan yang tidak dihayati dan juga tidak banyak yang mengamalkannya.

Asal mula dari adat Mandailing adalah rasa kasih sayang (olong). Kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Kasih sayang (olong) yang dimaksud oleh nenek moyang orang Mandailing bukan hanya sebagai hiasan di bibir saja atau slogan saja, tetapi harus dilaksanakan dalam kehidupan warga masyarakat Mandailing. Untuk melaksanakan rasa kasih sayang (olong) sesama orang Mandailing itu tentu harus ada mekanismenya berupa satu sistem nilai sosial atau sistem yang digunakan oleh semua orang Mandailing untuk melaksanakan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem sosial tersebut didasarkan pada kelompok kekerabatan yang diikat oleh (1) pertalian darah dan (2) pertalian perkawinan. Kelompok kekerabatan dimaksud dikenal sebagai mora, kahanggi dan anak boru.

Ketiga bentuk kelompok kekerabatan inilah yang dijadikan sebagai tumpuan (dalian) sistem nilai sosial tersebut. Sistem sosial ini dinamakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai dalian na tolu, makna harfiahnya tiga landasan (Lubis, 2009). Namun harus dipahami bahwa Mandailing bukan satu-satunya etnis yang memiliki dalian na tolu. Etnis Batak, Simalungun, Karo, Minang juga memiliki persamaan dengan dalian na tolu yang dimiliki etnis Mandailing.

Sistem sosial dalian na tolu difungsikan sebagai mekanisme untuk melaksanakan/ mengamalkan rasa kasih sayang (olong) yang merupakan asal mula adat (bona ni adat). Hal ini berlaku dalam setiap urusan hidup dan kehidupan masyarakat Mandailing. Hakikat dari adat dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat Mandailing disebut sebagai adat dalian na tolu. Selain dinamakan demikian ada pula orang yang menamakannya adat markoum marsisolkot karena orang Mandailing yang berada dalam ikatan dalian na tolu adalah sekaligus orang yang markoum marsisolkot. Adat Mandailing bertujuan untuk melaksanakan/mengamalkan rasa kasih sayang secara nyata dalam kehidupan orang-orang Mandailing yang markoum marsisolkot (memiliki pertaian darah dan/atau pertalian perkawinan). Adat dalian na tolu dapat difungsikan sebagai etika dalam urusan publik seperti pendidikan.

Sehubungan dengan adat dalian na tolu maka di masyarakat Mandailing dikenal pula istilah partuturan. Partuturan merupakan sistem sapaan yang dipergunakan dalam berinteraski oleh orang-orang Mandailing. Pada dasarnya sistem sapaan atau tutur ini diciptakan berlandaskan hubungan kekerabatan, baik karena pertalian darah ataupun karena pertalian perkawinan (Lubis, 2009). Setiap tutur berisi dan sekaligus melekat hak dan kewajiban orang yang mengucapkan dan menerima tutur tersebut, karena tutur dalam masyarakat Mandailing adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan adat atau pelaksanaan kasih sayang (olong) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap hidup bermasyarakat/berinteraski hampir semua orang setiap hari mengucapkan tutur. Kalau misalnya seseorang menyapa seseorang yang lain dengan mengatakan tulang, ini karena keduanya memiliki hubungan kerabat. Menurut adat Mandailing, orang yang mengatakan tulang itu tahu bahwa orang yang disapanya itu adalah saudara laki-laki dari ibunya atau mertuanya, maka keududukannya dalam adat adalah mora. Dengan demikian, dia harus mengetahui pula hak dan kewajibannya terhadap orang yang merupakan moranya. Hak dan kewajibannya terhadap moranya itu harus dia laksanakan sesuai dengan adat Mandailing dalam hal kesopanan (hapantunon). Sebaliknya, orang yang disapa dengan sapaan tulang tersebut harus pula mengetahui bahwa yang menyapanya dengan tutur tersebut adalah anak dari saudara perempuannya atau mungkin menantunya; maka keududukannya adalah anak boru dari si tulang. Dengan mengetahui hal itu maka dia harus tahu pula hak dan kewajibannya terhadap orang tersebut yang merupakan bere atau baberenya. Pihak mora harus tahu bahwa dia berhak menyuruh orang tersebut melakukan sesuatu karena orang itu adalah anak borunya; pada saat yang sama dia juga harus tahu bahwa dia wajib memperlakukan orang tersebut dengan cara yang persuasif (mangelek). Menurut adat Mandailing si tulang wajib memperlakukan anak borunya dengan persuasive (elek maranak boru) dan sebaliknya si anak boru wajib menjunjung tinggi mora (sangap marmora). Tutur lainnya dalam adat dalian na tolu adalah terhadap kahanggi. Pihak-pihak yang setara, bersaudara karena pertalian darah. Kedudukan sebagai kahanggi menandakan adanya kesetaraan dalam adat dalian na tolu.

E. PENERAPAN DALIAN NA TOLU DALAM PENDIDIKAN

Terminologi “think globally, act locally” sudah sering kita dengar dalam berbagai acara atau peristiwa. Meskipun kita hidup di abad 21 yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetesi global, namun perlu disadari bahwa suku bangsa yang memiliki “identitas” yang jelas adalah suku bangsa yang dapat bersaing di kancah kompetisi global. Identitas diri menjadi petunjuk tentang siapa kelompok itu sesungguhnya. Keadaan ini dapat diamati baik di pentas internasional maupun di pentas nasional. Indonesia memiliki beratus macam suku bangsa/etnis, akan tetapi yang “menonjol” tidak banyak (tanpa menyebut satu per satu). Oleh karena itu, jika ada sesuatu yang dapat ditonjolkan dari nilai-nilai budaya kelompok masyarakat tertentu, dan berlaku dalam segala urusan hidup dan kehidupan masyarakatnya, serta diyakini dapat diterapkan dalam urusan publik, seperti pendidikan di sekolah, maka sangat pantas untuk dipertimbangkan pelaksanaannya.

Agar sekolah dapat bertahan hidup lama, dan memberikan manfaat yang berharga bagi semua pihak, perlu sekolah dikelola dengan sungguh-sungguh berdasarkan nilai-nilai yang jelas sebagai landasan perilaku. Penerapan dalihan na tolu sebagai landasan (dalian) dalam urusan pendidikan di sekolah juga harus diikuti pula dengan menghindari penyakit dalam kehidupan bermasyarakat. Landasan yang dimaksud merupakan nilai-nilai bersama (shared values) memiliki kaidah-kaidah, yaitu: (1) sangap marmora, (2) manat markahanggi, dan (3) elek maranakboru. Kaidah-kaidah ini merupakan etika atau adab dalam melaksanakan mengelola organisasi sekolah.

Pertama, sangap marmora, maksudnya menjunjung tinggi mora, karena kita sudah hubungan kekerabatan (markoum marsisolkot) dengan beliau. Jika adat dalian na tolu dalam masyarakat Mandailing dianalogikan dengan warga sekolah. Siapakah yang disebut mora dalam organisasi sekolah. Dalam hal ini adalah Kepala Sekolah. Kepala Sekolah saat diangkat oleh pemerintah atau pengurus Yayasan, bukan oleh guru. Jika Kepala Sekolah telah ditetapkan, maka seluruh warga sekolah dan stakeholders harus menghormatinya, karena wewenang, tanggungjawab, dan kepercayaan telah diberikan kepadanya untuk memimpin organisasi sekolah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Kedua, manat markahangi, maksudnya setiap warga sekolah harus lenih peduli dengan apa yang terjadi diantara sesama saudara. Siapakah kahanggi dalam organisasi sekolah? Anggota organisasi, yaitu peserta didik, orangtua peserta didik. Anggota mesti kompak karena tanpa anggota yang lain kitapun tak berarti apa-apa. Kebersamaan harus diterapkan di kalangan anggota. Seluruh anggota organisasi adalah bersaudara, jadi harus peduli atas segala kondisi yang berkaitan dengan anggota dan kemajuan sekolah. Misalnya, jika ada pertemuan/rapat, maka anggota harus menghadirinya kecuali ada alasan ”yang dapat diterima”. Jangan pula diciptakan alasan yang tidak logis. Jika ada tugas, maka tugas yang diberikan harus diselesaikan dengan seksama. Dalam suatu kampung ada istilah ”orang lama” dan ”orang baru”. Orang lama biasanya sudah tahu letak geografis kampung, rumah siapa saja yang berwarna hijau atau merah; anak gadis siapa yang sudah dewasa, dan sebagainya. Perilaku orang lama adalah selalu ”menunduk”, dalam arti mengayomi atau menuruti aturan organisasi. Perilaku orang baru bisanya ”longang” (tercengang), dan bertanya-tanya dalam hati: ”rumah siapa yang berwarna hijau itu?”, ”kenapa begitu?”, atau lebih parah lagi: ”anak gadis siapa yang berambut merah itu?”, dan sebagainya. Jika hal ini dipakai untuk sekolah, maka implikasinya adalah anggota setia organisasi sekolah dianalogikan sebagai ”orang lama”, yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap maju mundurnya sekolah, prestasi, dan kondisi lainya; sedangkan anggota yang kurang atau tidak setia pada organisasi dianalogikan dengan ”orang baru”, cenderung melanggar aturan sekolah. Misalnya jarang datang jika diundang rapat, telat membayar iuran, tidak serius melaksanakan tugas yang diberikan, berbuat sesuka hatinya, dll. ”Orang baru” dapat menjadi penghalang program sekolah, dan pada akhirnya dapat menghambat tercapainya tujuan sekolah.

Ketiga, elek maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memiliki tenaga, pikiran, kekuatan atau yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya mereka lebih sabar pula. Anak boru ini sering pula disebut tungkol ngon lombang, siourus na lobi. Siapakah anakboru dalam organisasi sekolah? Pengurus dan anggota yang bekerja lebih banyak dapat disebut sebagai anak boru dalam organisasi sekolah, dalam hal ini pendidik dan staf sekolah lainnya. Sebagai anggota organisasi sekolah maka sudah sewajarnya jika pendidik dan staf memahami dan melaksanakan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Kepala sekolah harus pandai memperlakukan mereka secara persuasif (mangelek), jangan dibuat mereka mangkir melaksanakan tugas, atau melaksanakan tugas tidak serius (buncut), karena itu harus diciptakan suasana atau iklim organisasi saling marsihaholongan (saling menyayangi). Kalau para anak boru mangkir, maka dapat saja terjadi misalnya, peserta didik tidak memperoleh pelajaran/layanan terbaik dari pendidik dan staf sekolah, surat undangan tak dikirim ke tujuan, atau dibuang ke parit. Harus dijaga jangan sampai timbulperilaku destruktif dari pihak anak boru. Dalam hal ini kepala sekolah (mora) memiliki peran yang utama dalam memberdayakan anak boru dengan sebaik-baiknya.

Dalam adat Mandailing mora, kahanggi, dan anak boru dapat berubah posisinya sesuai dengan kepentingan adat istiadat. Jika saat ini misalnya si A menjadi mora, maka mungkin bulan depan posisinya sebagai anak boru di tempat lain. Di sekolah juga tidak selamanya kepala sekolah sebagai mora, karena ada rentang waktu menjabat sebagai kepala sekolah; ada pula tiba waktunya salah seorang pendidik menjadi kepala sekolah. Oleh karena itu, dalam menjalankan pengelolaan organisasi sekolah sebagai wujud pelayanan terhadap masyarakat perlu didasari dengan rasa kasih sayang (olong), karena kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Jika terjalin keakraban di antara seluruh warga masyarakat sekolah, maka dapat diasumsikan bahwa program sekolah, betapapun sulitnya, akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Bagaimana melaksanakan kaidah adat dalian na tolu dalam pendidikan di sekolah?. Bukankah warga sekolah tidak memiliki hubungan pertalian darah atau pertalian perkawinan? Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana menerapkan kaidah-kaidah (wujud kearifan lokal) dalian na tolu dalam pengeloaan pendidikan. Anggota atau warga sekolah tidak mesti memiliki hubungan pertalian darah (markoum marsisolkot), tapi bagaimana membuat mereka seperti markoum marsisolkot. Selama ini kita sering mendengar istilah Keluarga Besar Sekolah ….., maka dalam hal ini seluruh stakeholder pendidikan merupakan sebuah Keluarga Besar yang memerlukan Olong (kasing sayang), dikondisikan seperti markoum marsisolkot.

Sesungguhnya sama dengan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance atau GCG). Hanya saja GCG berasal dari masyarakat global sedangkan dalian na tolu adalah made in lokal. Jika ada kearifan local masyarakat di daerah ini yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam pendidikan, mengapa tidak kita coba. Jika sepakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menerapkan kaidah-kaidah adat dalian na tolu dalam pendidikan adalah sebagai berikut.

Langkah pertama: Pengenalan (marsitandaan) budaya Mandailing seluruh stakeholder pendidikan/sekolah. Hal ini didukung dengan literatur yang cukup dan nara sumber yang kompeten. Langkah kedua: Musyawarah (marpokat) antar stakelholder untuk membuat kesepakatan bersama tentang penerapan kaidah-kaidah dan nila-nilai budaya Mandailing dalam pengelolaan sekolah. Dalam hal termasuk mempertegas posisi, nilai-nilai bersama yang menjadi standar etika, penegasan hak dan kewajiban masing-masing stakeholder. Langkah ketiga: Menyusun rencana aksi (action plan) dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan atau 12 bulan pertama. Penerapan kaidah-kaidah, nilai-nilai, norma-norma diintegrasikan dalam aktivitas sekolah. Kegiatan ini diikuti pula dengan monitoring dan evaluasi. Langkah keempat: Menyusun program strategis sekolah dan menerapkan kaidah-kaidah dalian na tolu dalam seluruh aktivitas sekolah secara menyeluruh. Kegiatan ini diikuti dengan evaluasi setiap tahun.

Dalam upacara adat biasanya ada yang disebut Panitia, misalnya Panitia Horja (Pesta), maka semua tugas kepanitian untuk kegiatan pesta dibagi sampai habis. Semua pihak (kahanggi, anakboru, mora) memperoleh tugasnya masing-masing. Dalam implementasi di lapangan kira perlu dibuat pilot proyek oleh Pemerintah Daerah.

F. PENUTUP

Implementasi dalian na tolu sebagai landasan/etika/adab dalam mengelola pendidikan, harus diikuti pula dengan menghindari empat jenis “penyakit” yang dapat menganggu. Keempat penyakit tersebut adalah: (1) buruk sangka (su’uzzhon) kepada orang lain, (2) terlalu bangga dengan suatu jabatan yang akhirnya menjadi sombong, (3) mengungkit-ungkit jasa atau sumbangan yang telah diberikan kepada organisasi, (4) sifat gut-gut.

Pengelolaan pendidikan baik pada tingkat satuan pendidikan, atau tingkat kabupaten/kota, memerlukan suatu mekanisme yang jelas. Kejelasan mekanisme tersebut harus dilandasi dengan nilai-nilai yang disepakati bersama (shared values). Selain itu, pertemuan/rapat dalam rangka membahas program sekolah, atau rencana strategis sekolah, memerlukan kesepakatan awal (initial agreement) di antara stakeholder penddikan mau dibawa kemana pendidikan sekolah tersebut (arah). Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman 9misunderstanding). Sekolah masa di masa depan dapat bermimpi global tetapi tidak perlumalu dengan kearifan local, siapa tahu suatu saat justru kearifan local yang dimiliki masyarakat dapat menjadi transetter bagi masyarakat lainnya. Pemikiran ini tentu saja memiliki kelemahan, akan tetapi saat ini dan di masa depan, peluang dan tantangan yang dihadapi makin kompleks dalam mempersiapkan generasi muda untuk hidup survive dalam kompetisi global.

Referensi:
Lubis, Z. P. Kearah Penghayatan Adat Istiadat Mandailing, http://www.mandailing. org/ind/ rencana19.html, (diakses 9 Agustus 2009).
Luthans, Fred. Organizational Behavior (New York: McGraw-Hill, 2008).
Nelson, D. L. Organizational Behavior (Ohio: South Western-Thompson, 2006)
Rangkuti, Irsan, Organisasi dan Dalian Na Tolu, http://edinasution.wordpress.com/ 2009/06/01/organisasi-dan-dalian-na-tolu/ (1 Juni 2009).
Robbin, S. P. 2003. Essentials of Organizational Behavior (New Jersey: Prentice Hall, 2003).
Schermerhorn, J. R., Hunt, J. G. and Orborn, R. N. Organizational Behavior. Eight edition. ( New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2003).
Taylor, Carol., Lillies, Carol, and Le Mone, Priscilla. Fundamental Of Nursing Care, Third Edition (New York: Lippicot Philadelpia, 1997).
Wagner, Tony. The Global Achievement Gap (New York: Basic Book, 2008).

Jumat, 12 Februari 2010

PNS HARUS BERSIKAP NETRAL DALAM PILKADA MADINA




Panyabungan,
Dengan semakin dekatnya pemilihan kepala daerah posisi dan peran Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) sebagai unsur aparatur Negara benar - benar harus bersikap netral dalam segala pengabdian Profesionalisme.

Demikian dikatakan Wakil Bupati Madina Drs.Hasim Nasution pada saat melaksanakan Pelantikan eselon III sebanyak 33 orang dilingkungan Pemkab Madina,diKantor Bupati Madina,Senin (8/2).

Dikatakannya,pada Undang - undang nomor 43 tahun 1999,secara tegas disebutkan kedudukan aparatur negara wajib memberikan palayanan kepada masyarakat secara profesional,jujur,adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,pemerintah dan pembangunan.

"PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepda masyarakat,hak politik PNS untuk ikut pemilu mesti dimanfaatkan dengan sebaik - baiknya.secara logika pilihan terbaik adalah kontestan yang memperjuangkan aspirasi rakyat dan pembangunan nasional secara utuh,dan pergunakanlah hak politik tersebut secara baik untuk tercapai tujuan yang baik pula,"ajak Wakil Bupati.

Dan menurutnya,mutasi yang terjadi dilingkungan Pemkab Madina dilakukan untuk meningkatkan kinerja Pemerintahaan dalan penerapan good governance yang tidak bisa ditawar - tawar lagi dan harus dilaksanakan pada era reformasi saat ini.

"inti dan ujung dari good governance adalah perbaikan kualitas pelayanan publik dan peningkatan keadilan kesejahteraan rakyat.dan tidak ada pemerintahaan yang bersih dan bebas dari korupsi apabila sistem manajemen pemerintahaan tida ditata sesuai dengan prinsip - prinsip tata pemerintahaan yang baik,"tegaskan Wabup.

Diungkapkannya,kualitas yang semakin baik dan meningkat akan memudahkan pendayagunaan apartur negara dalam membangun sinergisme hubungan dengan elemen - elemen masyarakat lainnya untuk menerapkan good governance atau tata kepemerintahan yang baik terutama dalam peran steering,fasilitas motivasi pemberdayaan dan regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.

"Didalam soliditas terkandung nilai - nilai keteladanan dan bertanggungjawab ,salah satu contohnya tentang kedisiplinan terhadap makna efesiensi,bagaimana menerapkan efisiensi diterapkan misalnya dengan menghindari salah satu alokasi dana,pencegahaan berbagai bentuk korupsi, disiplin penggunaan anggaran,alokasi waktu dan dana pelayanan publik dengan frame work kepuasan publik,yang mendukung tumbuhnya oto-aktivitas dunia usaha masyarakat serta stakeholder,"ajak Wabup.

Ke 33 pejabat eselon III dilingkungan Pemkab madina yang diambil sumpahnya diantaranya Drg.Hj.Bidasari menjadi Direktur Rumah sakit Umum Daerah Panyabungan,Drs.M.Sarjan menjadi Sekretaris Badan Pelaksana Penyuluh dan Ketahanan Pangan Madina,Drs.Lismulyadi Nasution menjadi Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan madina,Gading Nasution Sekretaris Bappeda Madina,Ir.Masdewina Lubis menjadi Sekretaris Dinas Peternakan.

Mhd.Jamil.S.sos Pejabat Camat Panyabungan barat,Drs.Kamalkhan Pejabat Camat Ranto Baek,abdul Hamid S.IP Pejabat Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Madina,faizal,S.sos Pejabat Sekretaris Dinas Perhubungan Madina,Drs.Asroni Lubis,Pejabat Inspektur Pembantu bidang II penilaian atas manfaat keberhasilan urusan Pemdes pada Inspektorat,Cardi Riswandi SP Pejabat Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan Madina,Ansor Nasution S.Pd.MM Kepala Bidang Program penyuluhan dan pelatihan pada Dinas Koperasi dan UKM Madina.***
Panyabungan,8 Februari 2010

http://www.madina.go.id/news/news_item.asp?NewsID=125

Jumat, 05 Februari 2010

Kegalauan Hati Amru Daulay

Ditulis oleh Edy Rachmad
Selasa, 17 November 2009 10:44



Tahun depan, Amru Daulay, Bupati Mandailing Natal akan menyerahkan jabatannya kepada penggantinya yang tentunya akan diketahui sesudah pemilihan kepala daerah nantinya. Dalam beberapa kali pertemuan, saya melihat kegalauan hati beliau karena khawatir akan tidak berkesinambungannya pembangunan Kabupaten Mandailing Natal dari apa yang sudah dilaksanakannya selama ini.

Saya memahami kegalauan hati tersebut karena memang selama ini beliaulah satu-satunya yang menjadi bupati, setidak-tidaknya menjadi satu-satunya bupati definitif selama usia Kabupaten Mandailing Natal.

Oleh karena itu, dapat dikatakan Amru Daulay adalah orang yang merintis, membuat dasar, dan membangun fondasi pembangunan Kabupaten Mandailing Natal. Jadi sangat wajar jika beliau berharap agar bupati mendatang adalah sosok yang bisa melanjutkan apa yang telah dirintisnya, apa yang telah diletakkan fondasinya, dan apa yang telah dihasilkannya.

Beliau tentunya berharap jangan sampai semua yang telah dilakukannya menjadi sirna, lenyap, dan hapus karena penerusnya merancang program kerjanya dengan mengabaikan apa yang sudah dihasilkan oleh Amru Daulay selama ini, apakah karena penerusnya tersebut sekadar ingin tampil beda atau penerusnya nanti memiliki visi yang bertentangan dengan visi, misi, dan program yang telah dijalankan selama ini.

Terlepas dari alasan kepala daerah berikutnya untuk mengabaikan apa yang dicapai oleh bupati selama ini dalam membuat program pembangunannya, namun yang pasti ketidakberlanjutan program antara apa yang telah dihasilkan sekarang dengan apa yang akan diprogramkan oleh pimpinan berikutnya, akan mengganggu keberlangsungan pembangunan di Mandailing Natal sekarang ini yang diyakini oleh Pak Amru sendiri maupun oleh sebagian besar pejabat dan masyarakat Mandailing Natal, telah berada pada track yang benar.

Kekhawatiran Pak Amru terhadap tidak berkelanjutannya pembangunan di Mandailing, saya kira tidak hanya terkait kepentingannya yang seolah-olah akan menghilangkan hasil karyanya, tetapi menyangkut kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan rakyat dan masyarakat Mandailing Natal secara keseluruhan, yaitu terhambatnya pembangunan yang sudah dan sedang berlangsung sekarang ini.

Oleh karena itu, saya kira Pak Amru sangat berkepentingan dengan figur, sosok, dan kepribadian penggantinya dan berharap agar penggantinya adalah orang yang sejalan dengan beliau dan mampu melanjutkan apa yang telah beliau rintis atau setidaknya bisa menempatkan program dan keberhasilan beliau selama ini sebagai dasar penyusunan programnya kelak, sehingga sangat wajar jika beliau berharap bahwa pemimpin Madina berikutnya adalah orang yang dikenal oleh beliau, mengenal beliau, dan tahu betul apa serta bagaimana beliau selama ini menjalankan pemerintahan dan pembangunan Mandailing Natal.

Kegalauan hati Pak Amru tentang keberlangsungan pembangunan Mandailing Natal sering saya amati dari pembicaraan beliau, walau tidak pernah diucapkannya secara eksplisit, namun kekhawatiran itu sering saya tangkap dari ucapan beliau baik secara langsung saat bicara dengan saya, maupun secara tidak langsung ketika berbicara dengan orang lain yang kebetulan saya ada pada saat itu.

Namun karena berdasarkan peraturan dan hukum yang berlaku, bupati tentunya tidak memiliki hak untuk memilih dan menentukan siapa yang menjadi penggantinya. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang Amru Daulay menjadi harap-harap cemas menanti siapa kelak yang menjadi penerusnya.

Terlepas dari apa yang dirasakan oleh seorang Amru Daulay, memang apa yang telah dirintis dan dilakukan oleh beliau tidak bisa diabaikan dan terlalu besar untuk dihilangkan oleh pimpinan berikutnya, siapa pun dia. Selama sebelas tahun lebih beliau memimpin Mandailing Natal, banyak sekali ide, gagasan, program, dan hasil pembangunan riel yang harus dilanjutkan oleh bupati berikutnya.

Ada dua di antara sekian banyak programnya yang menurut saya sangat mendasar dan sejalan dengan budaya dan karakter masyarakat Mandailing Natal, yaitu pendidikan dan agama. Sejak jaman dahulu, ada dua perintah yang umum disampaikan oleh orang tua terhadap anaknya di Mandailing Natal, yaitu “kehe tu sikola” dan “kehe mangaji” yang mengindikasikan betapa pentingnya pendidikan dan agama bagi masyarakat Mandailing Natal dan dua hal tersebut menjadi perhatian penting bagi seorang Amru Daulay.

Khusus masalah pendidikan menjadi penting juga bagi saya, karena persoalan pendidikanlah yang mempertemukan dan belakangan mendekatkan saya dengan beliau. Saya merasakan bahwa kedekatan saya dengan beliau dimulai dari perjalanan saya dengan beliau dari Panyabungan ke Kotanopan untuk acara penyerahan pengelolaan kelas unggulan dari Badan Musyawarah Cendekiawan Mandailing Natal (BMCMN) kepada Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal.

Penyerahan ini dilakukan karena kelas unggulan yang kami rintis dan kelola tidak sanggup lagi kami lanjutkan karena ketidakmampuan pembiayaannya dan saya meminta kepada beliau untuk mengambil alih pengelolaannya yang belakangan kelas unggulan tersebut menjadi cikal bakal berdirinya SMA Negeri Plus Mandailing Natal.

Saat itu, dalam perbincangan di perjalanan dari Panyabungan ke Kotanopan, beliau banyak sekali memaparkan kepada saya tentang mimpi dan cita-cita beliau mengenai pendidikan di Mandailing Natal, dimulai dari dari cita-cita mewujudkan juara olimpiade sains dari Mandailing Natal, rencana mewujudkan sekolah-sekolah unggulan mulai dari SD sampai ke sekolah lanjutan, pembangunan perguruan tinggi politeknik, sampai kepada peningkatan kualitas pelayanan pendidikan serta mutu pendidikan secara keseluruhan.

Dengan pendirian sekolah-sekolah unggulan tersebut diharapkan selain untuk jangka panjang sebagai uji coba untuk diterapkan secara bertahap kepada sekolah-sekolah lainnya, untuk jangka pendek diharapkan akan dapat memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik kepada para siswa yang mempunyai bakat, kemampuan, kemauan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.

Selain itu, diharapkan berdirinya sekolah unggulan tersebut akan memicu dan memacu persaingan yang sehat dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan pendidikan di Mandailing Natal. Demikian juga dengan gagasan untuk melahirkan juara Olimpiade dan kerjasama dengan Tim Olimpiade Nasional, diharapkan akan berdampak positif terhadap semangat, gairah, motivasi, dan minat pelajar di Mandailing Natal dalam pengembangan sains dan teknologi, sekaligus sebagai kampanye yang efektif kepada orang tua murid untuk mendukung anak-anaknya menekuni dunia ilmu pengetahuan.

Apa yang disampaikan beliau kepada saya saat pertama sekali kami berbincang berdua, sekarang sudah banyak direalisasi. SMA Plus sudah berdiri dan dengan segala keterbatasan yang ada sudah mulai menunjukkan hasilnya dan saat ini pembangunan gedung untuk sekolah ini sedang dalam tahap penyelesaian di Panyabungan.

Saya tahu persis bagaimana upaya dan perjuangan beliau mendapatkan dana untuk pembangunan gedung tersebut yang jika selesai nantinya bisa menjadi kebangganaan masyarakat di sini. Saya juga tahu persis bagaimana usaha seorang Amru Daulay berhadapan dengan beberapa orang anggota DPRD dan masyarakat yang sempat berkomentar miring terhadap SMA Plus tersebut.

Jika SMA Plus sudah berjalan, sementara SLTP Plus dan SD Plus menurut beliau bisa beliau selesaikan sebelum masa jabatan beliau selesai. Untuk perguruan tinggi, pernah beliau menugaskan saya untuk menjajaki pembukaannya, namun karena besarnya biaya yang dibutuhkan, gagasan bagus ini terpaksa terhenti yang boleh jadi mungkin dibenak beliau gagasan ini bisa diwujudkan oleh penerusnya. Sebetulnya gagasan perguruan tinggi yang beliau inginkan bukanlah seperti PTS di daerah pada umumnya untuk tempat karyawan yang belum sarjana untuk mendapatkan gelar kesarjaaannya, tetapi menjadi pusat pelayanan pendidikan tinggi di wilayah Sumut bagian selatan yang mampu memberikan layanan pendidikan bermutu sekaligus untuk menyediakan sumber daya manusia dan melakukan kajian untuk pengembangan wilayah ini sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang ada.

Hal yang sering menjadi pemikiran beliau di bidang pendidikan sebagaimana sering saya dengar dari perbincangan dengan beliau adalah meningkatkan akses anak-anak Mandailing Natal masuk ke perguruan tinggi berkualitas, baik persoalan kompetensi lulusan maunpun pembiayaan.

Untuk kompetensi lulusan, tentunya otomatis akan teratasi dengan upaya peningkatan proses pembelajaran, sedangkan mengenai pembiayaan yang selama ini menjadi kendala besar bagi sebagian besar masyarakat Mandailing Natal untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi, beliau berkali-kali mengatakan kepada saya agar kiranya ada yayasan yang menghimpun dana dan membiayai anak-anak Mandailing Natal yang berprestasi tetapi tidak mampu secara ekonomi.

Kepedulian Pak Amru terhadap pendidikan juga terkait dengaan program Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dalam penuntasan wajib belajar dan pemberantasan buta huruf yang ditandai dengan penghargaan yang beliau terima berupa Anugerah Aksara dalam rangka Hari Aksara Nasional untuk tahun 2006.

Keseriusan Pak Amru terhadap pendidikan terlihat juga dari upaya membangun kompleks pendidikan yang mungkin dimaksudkan sebagai simbol pentingnya pendidikan bagi masyarakat Mandailing Natal, membuat lebih fokus penanganan bidang pendidikan, dan memudahkan pengadaan fasilitas pendidikan serta penunjang pendidikan yang bisa digunakan bersama.

Sebetulnya ada satu lagi yang menurut saya menguatkan kegalauan beliau tentang pendidikan di Mandailing Natal, beliau sangat berharap adanya kepedulian dan peran serta kawan-kawan “di perantauan” terutama para cendikiawan dan akademisi khususnya yang berasal dari Mandailing Natal.

Beliau berharap ada yang diberikan untuk pendidikan di Mandailing Natal, baik gagasan, fasilitas, pemikiran, materi, maupun tindakan riel. Tentang kehadiran saya dalam membantu beliau untuk mengembangkan pendidikan di Mandailing Natal, beliau sampai-sampai merasa perlu membujuk saya agar saya bersedia, yang akhirnya saya terima dengan catatan aktivitas saya sebagai dosen tidak terganggu. Atas kesediaan saya, beliau berkali-kali mengatakan kepada saya agar kiranya ada akademisi lain juga berkenan datang dan berbuat untuk daerah ini.

Sedangkan perhatian Amru Daulay terhadap agama antara lain ditunjukkan dengan kedekatannya dengan ulama dan pesantren, keluarnya perda tentang kewajiban memakai busana muslimah dan kewajiban bisa membaca Al Qur’an, pembinaan terhadap para hafiz dan hafizah, bantuan naik haji untuk para ulama, pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM), dan pembangunan masjid agung.

Pembangunan Masjid Agung yang diharapkan akan selesai sebelum berakhirnya masa kepemimpinan beliau, selain untuk tempat beribadah bagi masyarakat Mandailing Natal dan masyarakat yang sedang dalam perjalanan karena letaknya berada di pinggir jalan utama menuju Sumatera Barat.

Masjid tersebut diharapkan akan menjadi pusat kegiatan dan pengajian keislaman serta menjadi simbol dan pertanda bahwa masyarakat Mandailing Natal adalah masyarakat yang islami. Begitu juga dengan pendirian STAIM yang tentunya diharapkan akan muncul sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang akan memberi kontribusi untuk mempertahankan Mandailing Natal sebagai daerah yang sangat kental dengan keislaman dan keagamaan termasuk dalam kehidupan sehari-hari.

Dari apa yang diutarakan di atas, terlihat sekali bahwa Amru telah membangun fondasi dalam hal pembanguan pendidikan dan keagamaan baik berupa simbol, bangunan fisik, peraturan, maupun fondasi substansial yang tentu sangat ingin hal tersebut dilanjutkan oleh penerusnya berupa program-program konkrit.

Beliau khawatir bagaimana kelanjutan sekolah-sekolah yang beliau rintis, beliau cemas bagaimana kelanjutan Masjid Agung yang dibangun dengan biaya besar yang telah susah payah beliau dapatkan, beliau resah apakah mungkin ditingkatkan akses ke perguruan tinggi bagi anak-anak Mandailing Natal, beliau galau apakah STAIM akan tetap bertahan dan apakah pembentukan perguruan tinggi bisa direalisasi oleh penerus beliau. Beliau juga mengkhawatirkan bagaimana keberlanjutan dan implementasi tentang perda syariat Islam yang sudah ada dan bagaimana keberlanjutannya. Kesemuanya hanya akan berlanjut jika pimpinan berikutnya memiliki visi dan misi yang sejalan dengan visi dan misi beliau.

Sebetulnya program yang mendasar yang perlu ditindaklanjuti bupati berikutnya bukan hanya persoalan pendidikan dan keagamaan, masih ada lagi beberapa yang signifikan yang perlu dilanjutkan seperti pencetakan sawah baru, Taman Nasional Batang Gadis yang merupakan satu-satunya taman nasional yang dirancang oleh pemerintah kabupaten, program koperasi untuk kebun rakyat, dan lain-lainnya.

Semuanya tentu akan menambah kegalauan seorang Amru bagaimana keberlanjutan program yang telah dimulai dan dirintis tersebut. Jadi kalau boleh memilih, beliau mungkin berkeinginan agar bisa menentukan siapa yang menjadi penerusnya, namun sebagaimana disinggung di atas, peraturan kita tidak mengatur itu, yang menentukan adalah partai politik dan rakyat sebagai pemilih.

Namun demikian, jikapun Pak Amru tidak bisa menentukan secara langsung, harapannya rakyat Mandailing Natal bisa membaca tanda-tanda tentang keinginan dan kegalauan beliau sehingga berketetapan hati memilih sosok yang sesuai dengan yang diinginkan dan diharapkan beliau.

Sekarang sudah banyak yang mempublikasikan diri sebagai calon pengganti beliau, yang manakah yang bersedia sebagai penerus keberlangsungan program beliau, mari kita amati dan cermati dengan seksama, apakah mereka yang akan membuat Madina bangkit, yang berjanji melanjutkan pembangunan di Madina, yang akan membuat “aman” Madina dengan berdinar-dinar, atau merasa perlu membuat bersama maju untu perubahan di Madina. Homu do na umboto !!! ***** ( Zulkarnain Lubis : Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Koperasi di UMA dan Kepala SMA Plus Mandailing Natal )

http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6841:kegalauan-hati-amru-daulay&catid=41:opini&Itemid=118

Kamis, 04 Februari 2010

Warga Menagih Janji Bupati Mandailing Natal

Headline News / Nusantara / Kamis, 4 Februari 2010 14:09 WIB

Metrotvnews.com, Mandailing Natal: Merasa janji tidak ditepati, ratusan warga Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Bukit Malintang, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Kamis (4/2), mendatangi kantor Bupati Mandailing Natal. Mereka menuntut janji Bupati Mandailing Natal yang menjanjikan Desa Jambur Padang Matinggi menjadi kecamatan.

Luapan emosi warga tidak terkendali karena pemerintah kabupaten tidak juga keluar untuk menanggapi aspirasi warga. Aksi saling dorong warga dengan polisi terjadi karena mereka memaksa masuk ke dalam kantor bupati untuk langsung menanyakan penjelasan janji Bupati Mandailing Natal. Warga menilai, Desa Jembur Padang Matinggi sudah tidak aman lagi setelah terjadi perpecahan sesama warga.

Setelah aksi saling dorong terjadi, massa beralih mengejar seseorang yang dianggap sebagai provokator dan berhasil diamankan polisi. Akhirnya, pihak Pemerintah Mandailing Natal meminta 10 orang perwakilan dari warga untuk bermusyawarah mengenai pemekaran Desa Jambur Padang Matinggi menjadi kecamatan.(DOR)