Minggu, 24 Januari 2010

ANTARA PIOR DAN CINTA


ANTARA PIOR DAN CINTA
Oleh Edi Nasution

Dalam kehidupan masyarakat Mandailing tempo dulu sudah diwarnai oleh sistem nilai budaya yang tidak memungkinkan adanya pergaulan secara terbuka antara pemuda dan anak gadis, sehingga bagaimanapun menyala-nyalanya rasa cinta di antara mereka harus ditempuh secara rahasia.
Dalam keadaan yang demikian itu, bahasa daun-daunan (bladerentaal) merupakan salah satu alternatif sarana komunikasi untuk mengutarakan isi hati. Misalnya seorang pemuda ingin mengatakan “jangan sampai terjadi perpisahan di antara kita” kepada kekasihnya, maka si pemuda pada suatu tempat tertentu akan menumpuk dedaunan tumbuhan seperti simardulang-dulang (ulang = jangan), sitata (ita = kita), dan sitarak (marsarak = berpisah).

Meskipun “bahasa daun-daunan” (bladerentaal) telah popular di masa itu, namun tidak tertutup kemungkinan adanya hambatan bagi seorang pemuda atau dan seorang anak gadis yang ingin saling mengutarakan isi hati. Seperti adanya perasaan saling menyegani, atau perasaan takut apabila “gayung tidak bersambut”. Adanya hambatan-hambatan tersebut bukanlah berarti si pemuda kehabisan akal untuk dapat memiliki sang gadis pujaan yang didambakannya. Ternyata, masih banyak cara yang dapat ditempuh dan salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan alat musical bernama pior.

Organologi dan Klasifikasi

Pior adalah suatu alat bunyi yang terbuat dari bahan bambu, kayu, pelepah pinang, dan belahan rotan sebagai pengikat. Dari sepotong kayu yang bulat dan ringan (ayu atinar atau goti) dibentuk menjadi lembaran kayu yang panjangnya kira-kira 80 cm dan lebarnya 10 cm, yang pada bagian tengahnya dibuat lubang sumbu.

Kemudian lembaran kayu tadi dibentuk menjadi kincir angin ’double plat’, dan ke dua ujungnya diikatkan kuat sepasang alat bunyi yang bernama ’dongung-dongung’. Dongung-dongung ini terbuat dari sepotong bambu bernama ‘bulu poring’, yang panjangnya sekitar 15 cm dari ’buku’ yang utuh hingga ke ujungnya yang terpotong lancip, dan diameter bambu sekitar 3-4 cm.
Pada lubang sumbu diberi semacam “pen” yang terbuat dari bambu kecil, sedangkan sumbunya terbuat dari bambu bulat. Dan pada perpanjangan sumbu (di bagian belakang) dilengkapi dengan pengatur arah angin berupa pelepah pohon pinang (laklak). Laklak ini berguna untuk mencari arah angin yang bertiup, yang pada gilirannya perangkat pior diletakkan pada tabung bambu yang vertikal dan memiliki “buku” di dekat sumbu yang melintang. Selanjutnya melalui lubang tabung bambu yang vertikal ini dimasukkan tonggak kayu bulat sebagai ‘tiang pior’. Panjang ‘tiang pior’ ini disesuaikan dengan keperluan, lalu dipancangkan di atas tanah.

Setelah pior terpancang sempurna, lalu angin bertiup prontal terhadap pior, sehingga pior pun akan berputar secara vertikal beserta dongung-dongung yang masing-masing diikatkan pada kedua ujungnya. Akibat berputarnya dongung-dongung, maka terjadilah benturan “kolom udara” pada tabung dongung-dongung. Selanjutnya benturan kolom udara ini menghasilkan “getaran”, dan dengan frekuensi tertentu dari geteran ini akan menghasilkan bunyi atau suara yang berdengung-dengung.
Kita ketahui bahwa bunyi pior lebih kuat pada malam hari karena sejalan dengan prinsip fisika, dimana pada malam hari udara lebih padat di atas permukaan tanah, dan akibatnya bunyi yang dihasilkan pior melengkung ke bawah, sedangkan di siang hari kebalikannya.

Sehubungan dengan yang telah dutarakan di atas dan sesuai pula dengan metode klasifikasi intrumen dunia yang diajukan oleh Curt Saeh dan Hornbostel (1881-1969) maka ‘pior’ yang dilengkapi dengan ’dongung-dongung’ ini termasuk klasifikasi alat musik ’aerofon’.

Penggunaan dan Fungsi

Pior ini umumnya dipasang di daerah perbukitan, atau dapat juga di dataran rendah yang diikatkan pada batang pohon kuini atau mangga misalnya, agar mendapat angin yang lebih banyak.

Pior yang dilengkapi dengan dua buah alat musikal (dongung-dongung) tersebut, yang terbuat dari sepotong bambu dipotong lancip, dan diikatkan pada kedua ujungnya. Pembuatan ‘dongung-dongung’ ini jelas merupakan tindakan yang sengaja dirancang oleh seorang pemuda untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini untuk memikat hati seorang anak gadis yang didambakan si pembuat pior.

Menurut keterangan ‘dongung-dongung’ ini sebelumnya diasapi dengan kemenyan, sebagai pengantar mantera-mantera yang diucapkan oleh si pembuat pior. Dengan harapan agar ’suara’ yang dihasilkan ’dongung-dongung’ tersebut (disebut ’pitunang’) dapat menyampaikan hasrat yang diinginkan si pembuat pior (pemuda) terhadap seorang anak gadis yang didambakannya. Biasanya setelah pior terpancang dalam beberapa hari, si anak gadis yang dituju mulai bertanya-tanya dalam hati siapa sang pembuat pior, sering melamun, dan dilanda kerinduan.

Biasanya, si anak gadis pun mulai menunjukkan reaksi dan berusaha untuk menemukan seseorang yang dirindukannya, tetapi entah siapa gerangan. Ia mulai bertingkah aktif bergaul dan sesekali mengunjungi famili di luar kampungnya. Dalam situasi yang seperti ini, besar kemungkinan ia akan berjumpa dengan si pemuda pembuat pior. Setelah bertemu dengan si pemuda itu, si gadis merasakan ada sesuatu ’hal’ yang menyentuh perasaannya yang terdalam, dan ia pun merasa tertarik dan takluk.
Dalam suasana perjumpaan seperti ini, ‘barangkali’ si pemuda pun tidak hanya mengandalkan keampuhan ‘pitunang’ saja, tetapi ia mungkin juga memakai ‘daya pemikat’ tambahan, seperti harum-haruman atau mantara-mantra (disebut ‘jampi-jampi’) tertentu, agar lebih berkesan lagi menerima eksistensi si pemuda pembuat pior. Sehingga pada gilirannya hubungan di antara mereka pun dapat terjalin akrab, dan si gadis merasa aman, damai, dan terlindung di sisi sang pemuda, dan kemungkinan besar “gayung” pun bersambut.

Bertolak dari uraian di atas, dan meskipun penulis belum sempat mendokumentasikan bunyi ’dongung-dongung’, dan ’mantera-mantera’ yang diucapkan oleh si pembuat pior, kuat dugaan bahwa prilaku si pembuat pior bukanlah praktek ’magic’. Oleh karena si pembuat pior bukanlah seseorang yang dapat menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam ini untuk mencapai tujuannya. Tetapi itu adalah satu bentuk ’religi’, hal ini sesuai dengan konsep yang diajukan oleh J.D. Frazer di dalam bukunya The Golden Bough (1890), bahwa ”religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyodorkan diri kepada kawasan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh atau dewa-dewa, dan lain-lain yang menempati alam”.
Pada masa sebelum masuknya Islam ke Mandailing, masyarakat Mandailing menganut sistem religi yang dinamakan “sipelebegu”. Ternyata sistem religi ini secara berangsur-angsur hilang semenjak pengaruh yang kuat dari Islam yang semakin banyak dianut dan diyakini oleh masyarakat Mandailing, dan pada gilirannya merubah pola pikir masyarakat tentang ‘Ketuhanan’. Meskipun demikian, sistem religi sipelebegu (budaya) ini masih ada yang tersisa, termasuk keberadaan pior di Mandailing, seperti yang pernah ada terpancang di Tor Siojo sekitar tahun 1990an.

Di Mandailing, menurut sejumlah informan, ‘pitunang’ dapat digunakan untuk memikat dan menundukkan hati seorang anak gadis. Dalam hal ini, ‘pitunang’ adalah suatu daya pikat yang memakai ‘bunyi’ sebagai medium untuk maksud-maksud tertentu. Kenyataannya pitunang ini tidak hanya dipakai untuk maksud di atas, ada kalanya dipasang pada alat transportasi, misalnya ‘pedati’. Pitunang untuk pedati ini dipasang pada ‘usip’ (dua buah lempengan logam sebagai alat bunyi seperti “bell”), terletak di sumbu roda bagian pinggir: kiri dan kanan, atau dipasang pada ‘gonto’ (lonceng) yang biasanya disangkutkan pada leher kerbau atau lembu penarik pedati, atau gonto yang digantungkan di dalam pedati. Pemakaian ‘pitunang’ pada bagian-bagian yang menghasilkan bunyi ini adalah untuk memikat hati para langganan agar mereka menumpangkan barangnya kepada si pemilik pedati yang menggunakan pitunang tersebut. Selain itu, acara muda-mudi “markusip” (tradisi berkencan dengan cara berbisik-bisik antara pemuda dan pemudi yang dibatasi dinding rumah pada malam hari) pun tidak luput dari pemakaian berbagai alat musik yang memakai ‘pitunang’ seperti ‘tulila’, ‘sordam’, ataupun ‘genggong’.

Namun semenjak tersedianya sarana dan prasarana yang lebih baik seperti transportasi dan penerangan (listrik) di desa-desa, serta kuatnya pengaruh teknologi informasi (tv, radio, surat kabar dan lain-lain), maka secara perlahan-lahan tapi pasti, baik tradisi ’pior’ maupun ‘markusip’ yang erat kaitannya dengan ‘dunia asmara muda-mudi’ Mandailing itu telah mulai hilang ditelan kemajuan zaman. Tindakan apa yang harus kita lakukan ?!!

Sumber: Harian Waspada, 1990; dalam http://www.facebook.com/topic.php?uid=100071520717&topic=13406

Tidak ada komentar:

Posting Komentar