Oleh Kia Rangkuti
Na landit dalan tu saba tapang
Mamintas bondar tu saba parbalan
Na ancit ma waktu zaman Jopang
Ulit ni ayu baen panutup ni badan
Tano duru madung potpotan
Isuani halak doi sangge-sangge
Dung do zaman madung modern
Pamake ni halak marbage-bage
Targan so sampe tu saba tapang
Ibolus parjolo da saba unte
Ringgas do ia mambantu simatobang
Dung do le ia masuk esempe
Muda ipaias bondar saba unte
Inda da tola na marderet-deret
Dung do si Merdet masuk esempe
Itanda halak maia melalui internet
Saba parbalan na sian dolok
Saba Lambou na sian lombang
Muda ujian nasional dung donok
Ulang be nian sai hamu longang
Mamolus nambur tu Parkutahan
Manyogot ni ari mangguris hapea
Di esema madung bahat parsiajaran
Nabahat gunana di hitaon sasudena
Musim eme musim mardege
Sude do halak marsonang ni roha
Muda lulus ma ia sian esempe
Giot ni rohana baya tu esema
Pakantan dolok pakantan lombang
Mamintas dalan sian Hutanagodang
Muda pamatang baya murmagodang
Nangkan sinaloan doma ambaen podang
Aek Singolot di Purba baru
Aek na macom panumbur saba
Muda dapot baya baju naimbaru
Sonang ni roha da mamakena
Sonang ni roha ni namarsikola
Inda mandemes tu Matematika
Dompak libur sikola anak esema
Manaek aeles ma nian tu Jakarta
Laos mulak mada sian esema
Manguntortor tot idoit daldal
Naribur do baya kota Jakarta
Di trotoar do halak le marjagal
Bahat do halak nian marjagal
Gadisonna muse marasing-asing
Olope bahat di Plaza namarjagal
Inda sadia uida halak Mandailing
Mulak si Merdet tingon Jakarta
Atia si Taing mulak ngon saba
Inda be tarbaen na martata
Dongan “marsilaing” iba tu saba
Olope loja na tingon saba
Inda lupa ia pamangan bodat
Dung do si Merdet masuk esema
Dohot ma ia marsiajar mar”adat”
Na lampas tor lampasan dope gunung
Inda na tarbaen maroban eme sagoni
Harani godangna baya luak Mandailing
Ima ambaen manetek ijur ni Bolanda i
Tano hapea tano ni bargot
Donok muse tanomon eme
Tano sere madung do dapot
Ulang be nian igadis muse
Aha ma baya tabuson di ari poken
Ihan mas baya songon ihan siroken
Sugari bolas baya nian pangidoan
Angkon na sikola songon Sati Nasution
http://www.facebook.com/note.php?note_id=87408559087
Senin, 05 April 2010
NASIB SI PENAGIH UTANG
Oleh Kia Rangkuti
Adong sada carito, ... santabi diita sude. Ulang nian adong na tarsinggung da.
Pada suatu hari, seorang antropolog bercerita kepada murid-2nya, bahwa perilaku (kebiasaan) dari berbagai etnis di Sumatera dapat dijelaskan ketika anggota masyarakat tersebut dihadapkan pada si penagih utang. Kemudian ant ropolog tersebut menjelaskan masing-masing jawaban tiga kelompok etnis (Mandailing, Karo, Batak Toba) ketika utangnya di tagih.
Hari Pertama, yang didatangi si penagih utang adalah orang Mandailing. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Mandailing: tanpa menunjukkan rasa bersalah, dan seolah-olah si penagih utang yang salah, "Aduuuh, kog nggak kau bilang dari kemaren, coba kalau kau bilang kian, kan kusiapkan lah uang itu, sekarang mana ada uang lagi di tangan, sudah kubayarkan untuk keperluan lain". Si penagih utang merasa bersalah, kemudian dia pulang.
Hari Kedua, ang didatangi si penagih utang adalah orang Karo. Penagih utang bilang: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Nande dilunasi". Jawab orang Karo: "Nakkuuuuu, la lit senkuuuu, anakku pun butuh uang tapi la lit sen ku", dengan menunjukkan wajah yang sedih minta dikasihani. Melihat kejadian itu, si penagih utang turut merasa sedih, kemudian dia pulang.
Hari Ketiga, yang didatangi si penagih utang adalah orang Batak Toba. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Batak Toba: dengan nada marah, "Apa kau bilang? utang, u...utang, dari sejak terminal sampai rumah ini kau kau saja yang menagih utang, tak ada, pulang kau". Dengan rasa takut melihat tingkah Bapak itu, akhirnya si penagih utang pun pulang dengan ketakutan.
Tiga hari berurut-turut si penagih utang diliputi rasa bersalah, sedih, takut; bercampur menjadi satu. Sekarang, benar tidaknya cerita "antropolog" tadi, mari kita "simak pelan-pelan" dalam kehidupan ini.
Sekali lagi mohon Kia dimaafkan. Santabi mangulai, sapulu noli marsantabi, tarsorah di ita ma manafsirkonna (@kia).
Wass.
Quiz: anda senang dengan tingkah suku?: (A) Mandailing, (B) Karo, (C) Batak Toba.
Adong sada carito, ... santabi diita sude. Ulang nian adong na tarsinggung da.
Pada suatu hari, seorang antropolog bercerita kepada murid-2nya, bahwa perilaku (kebiasaan) dari berbagai etnis di Sumatera dapat dijelaskan ketika anggota masyarakat tersebut dihadapkan pada si penagih utang. Kemudian ant ropolog tersebut menjelaskan masing-masing jawaban tiga kelompok etnis (Mandailing, Karo, Batak Toba) ketika utangnya di tagih.
Hari Pertama, yang didatangi si penagih utang adalah orang Mandailing. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Mandailing: tanpa menunjukkan rasa bersalah, dan seolah-olah si penagih utang yang salah, "Aduuuh, kog nggak kau bilang dari kemaren, coba kalau kau bilang kian, kan kusiapkan lah uang itu, sekarang mana ada uang lagi di tangan, sudah kubayarkan untuk keperluan lain". Si penagih utang merasa bersalah, kemudian dia pulang.
Hari Kedua, ang didatangi si penagih utang adalah orang Karo. Penagih utang bilang: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Nande dilunasi". Jawab orang Karo: "Nakkuuuuu, la lit senkuuuu, anakku pun butuh uang tapi la lit sen ku", dengan menunjukkan wajah yang sedih minta dikasihani. Melihat kejadian itu, si penagih utang turut merasa sedih, kemudian dia pulang.
Hari Ketiga, yang didatangi si penagih utang adalah orang Batak Toba. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Batak Toba: dengan nada marah, "Apa kau bilang? utang, u...utang, dari sejak terminal sampai rumah ini kau kau saja yang menagih utang, tak ada, pulang kau". Dengan rasa takut melihat tingkah Bapak itu, akhirnya si penagih utang pun pulang dengan ketakutan.
Tiga hari berurut-turut si penagih utang diliputi rasa bersalah, sedih, takut; bercampur menjadi satu. Sekarang, benar tidaknya cerita "antropolog" tadi, mari kita "simak pelan-pelan" dalam kehidupan ini.
Sekali lagi mohon Kia dimaafkan. Santabi mangulai, sapulu noli marsantabi, tarsorah di ita ma manafsirkonna (@kia).
Wass.
Quiz: anda senang dengan tingkah suku?: (A) Mandailing, (B) Karo, (C) Batak Toba.
Minggu, 04 April 2010
Kopi Lintong Kini Dinikmati Petani
Rumah panggung berdinding kayu itu laburannya telah kusam karena kebanyakan terkena asap dari tungku di dapur. Letaknya persis di samping kebun kopi. Kursi tamunya reyot. Televisi 14 inch, hiburan satu-satunya di rumah tersebut, tertutup taplak kumal.
Pemilik rumah, Toho Manatap Siregar, petani kopi tamatan SMP, yang punya tanggung jawab mengelola uang ratusan juta rupiah, dana komunal petani kopi hasil ekspor dengan standar perdagangan internasional yang adil.
Toho tinggal di Desa Sibuntuon Partea, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Medan, di mana terdapat dua gerai kopi internasional, Starbucks yang menjual kopi arabika lintong. Seperti namanya, Lintong Nihuta menjadi ”rumah” bagi kopi arabika lintong. Lintong Nihuta terletak di dataran tinggi pinggiran Danau Toba sebelah tenggara, yang cocok bagi pertumbuhan kopi jenis arabika.
Di Starbucks, biji kopi arabika lintong yang sudah disangrai dihargai Rp 95.000 setiap kemasan ukuran 250 gram. Bungkusnya eksklusif. Ada dua nama untuk kopi arabika lintong yang dijual Starbucks, Sumatra dan Sumatra Decaf. Yang terakhir oleh Starbucks dibikin dengan kadar kafein lebih rendah.
Kopi arabika lintong atau biasa hanya disebut kopi lintong adalah satu dari tiga brand kopi arabika terkenal dunia yang ditanam di Pulau Sumatera. Dua lainnya adalah kopi mandheling dan kopi gayo.
Saat kami bertandang ke rumahnya, Toho menyuruh anak perempuannya menyuguhkan kopi. Ketika ditanya, apakah itu kopi lintong, Toho malah tertawa. ”Saya pun tak tahu itu kopi apa. Kami cuma jual biji kopi, sudah jarang menyangrai dan menggiling sendiri. Lebih praktis beli kopi bubuk di pasar,” katanya.
Toho tak pernah mencicipi kopi di Starbucks. Dia pun tak tahu, biji kopi dari Lintong yang diekspor, disangrai pembeli di negaranya, ternyata dijual kembali di Indonesia dengan harga sangat mahal.
Dalam rantai perdagangan internasional, di titik paling awal, petani atau buruh kebun kadang tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perdagangan. Petani tetap miskin. Padahal, hasil kebunnya bernilai sangat tinggi di pasar internasional, seperti kopi arabika lintong ini.
Beruntung Toho bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Lintong Organik (APKLO). Organisasi petani berdiri sejak 21 Oktober 2003. APKLO merupakan gabungan beberapa kelompok tani di dua kecamatan, Lintong Ni Huta di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada tahun 2005 APKLO mendapat sertifikasi dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), jaringan organisasi nirlaba berbasis di Bonn, Jerman, yang menyokong perdagangan internasional berjalan adil bagi penghasil komoditas seperti petani dan buruh. APKLO mendapat sertifikasi FLO setelah didampingi Wakachiai Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang.
FLO membuat standardisasi perdagangan yang adil bagi penghasil komoditas, eksportir, dan pembeli. Dalam laman resmi organisasi ini disebutkan, fairtrade adalah pendekatan alternatif dalam perdagangan konvensional. Didasarkan pada kemitraan penghasil komoditas dengan konsumennya, fairtrade menawarkan konsumen cara mengurangi kemiskinan saat mereka
”Fairtrade” premium
Fairtrade memangkas mata rantai perdagangan. Petani seperti Toho bisa menjual kopinya langsung ke importir di Jepang tanpa harus lebih dulu berhubungan dengan pengepul dan tengkulak. ”Petani tak bisa menentukan harga kopi karena selama ini ditentukan tengkulak dan pengepul,” ujar Ketua APKLO Gani Silaban.
”Dengan fairtrade, kami dapat harga standar minimum yang tak terpengaruh gejolak harga kopi dunia. Kalau harga tinggi, kami dapat lebih tinggi. Keuntungan lain, kami dapat fairtrade premium, uang lebih yang tidak termasuk harga standar,” kata Gani.
Fairtrade premium ini menjadi dana komunal petani. Nilai fairtrade premium produk kopi bersertifikat FLO saat ini sekitar Rp 2.000 per kilogram. Dana ini dipakai untuk meningkatkan kapasitas sosial, ekonomi, dan lingkungan petani. Inilah dana yang pengelolaannya dipegang Toho selaku ketua komite premium APKLO. ”Penggunaannya dibicarakan bersama seluruh anggota APKLO,” katanya.
APKLO tahun 2009 mendapat fairtrade premium sebesar Rp 218 juta, hasil produksi kopi 152 petani anggota APKLO setahun. ”Kami gunakan memberi beasiswa anak petani, membeli sarana produksi milik kelompok tani hingga membiayai pelatihan petani. Saya sempat dapat pelatihan di Jepang dari dana ini,” ujar Gani.
FLO tak sembarangan memberikan fairtrade premium. Setiap tahun FLO mengaudit standardisasi pelabelan fairtrade. Gani menuturkan, audit paling ketat diterapkan dalam penggunaan fairtrade premium. Sertifikat dicabut jika dana disalahgunakan. ”Meski FLO tak menjamin bakal ada pembeli, selalu saja ada pembeli luar negeri berminat. Bulan lalu kami sudah mengapalkan 18 ton kopi lintong ke Jepang,” katanya.
Starbucks merupakan salah satu pembeli kopi yang ikut dalam jaringan fairtrade. Ada 24 negara yang punya inisiatif pelabelan fairtrade tersebar di Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang. Di Siborongborong, eksportir kopi lintong yang memasok Starbucks, PT Sumatera Speciallity Coffe (SSS), diminta Starbucks bekerja sama dengan koperasi yang memasok kopi lintong ke mereka agar mendapat sertifikasi FLO.
Koperasi atau kelompok tani seperti APKLO dianggap menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sebagai syarat perdagangan yang adil. Menurut Koordinator PT SSS di Siborongborong Joko Prabowo, perusahaannya menggandeng Wira Koperasi Satolop untuk mendapatkan sertifikasi FLO. Sekitar 4.000 anggota Wira Koperasi adalah petani kopi lintong di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Menurut salah seorang pendiri Wira Koperasi, Robinson Bakara, koperasinya dalam tahap akhir mendapatkan sertifikasi FLO. ”Standardisasi yang harus dipenuhi cukup berat, tapi manfaat perdagangan yang adil bagi petani jauh lebih penting. Kami belajar dari keberhasilan APKLO,” katanya.
Sekarang APKLO berencana membangun gudang dan membeli mesin pengelupas kulit ari biji kopi dari dana fairtrade premium.
Toho menuturkan, dengan memiliki gudang, petani bisa menyimpan stok kopi untuk dijual saat harga tinggi. Mesin pengelupas kulit ari membuat mereka tak perlu menyewa lagi ke eksportir.
Untuk menikmati semerbak aroma kopi lintong produksinya, Toho tak perlu datang ke Starbucks yang menjualnya dengan harga sangat mahal. Perdagangan yang adil membuat Toho cukup menikmati semerbaknya aroma kopi lintong, meski dari kopi bubuk antah berantah yang dibelinya di pasar. (KHAERUDIN)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/05/03131345/kopi.lintong.kini.dinikmati.petani
Pemilik rumah, Toho Manatap Siregar, petani kopi tamatan SMP, yang punya tanggung jawab mengelola uang ratusan juta rupiah, dana komunal petani kopi hasil ekspor dengan standar perdagangan internasional yang adil.
Toho tinggal di Desa Sibuntuon Partea, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Medan, di mana terdapat dua gerai kopi internasional, Starbucks yang menjual kopi arabika lintong. Seperti namanya, Lintong Nihuta menjadi ”rumah” bagi kopi arabika lintong. Lintong Nihuta terletak di dataran tinggi pinggiran Danau Toba sebelah tenggara, yang cocok bagi pertumbuhan kopi jenis arabika.
Di Starbucks, biji kopi arabika lintong yang sudah disangrai dihargai Rp 95.000 setiap kemasan ukuran 250 gram. Bungkusnya eksklusif. Ada dua nama untuk kopi arabika lintong yang dijual Starbucks, Sumatra dan Sumatra Decaf. Yang terakhir oleh Starbucks dibikin dengan kadar kafein lebih rendah.
Kopi arabika lintong atau biasa hanya disebut kopi lintong adalah satu dari tiga brand kopi arabika terkenal dunia yang ditanam di Pulau Sumatera. Dua lainnya adalah kopi mandheling dan kopi gayo.
Saat kami bertandang ke rumahnya, Toho menyuruh anak perempuannya menyuguhkan kopi. Ketika ditanya, apakah itu kopi lintong, Toho malah tertawa. ”Saya pun tak tahu itu kopi apa. Kami cuma jual biji kopi, sudah jarang menyangrai dan menggiling sendiri. Lebih praktis beli kopi bubuk di pasar,” katanya.
Toho tak pernah mencicipi kopi di Starbucks. Dia pun tak tahu, biji kopi dari Lintong yang diekspor, disangrai pembeli di negaranya, ternyata dijual kembali di Indonesia dengan harga sangat mahal.
Dalam rantai perdagangan internasional, di titik paling awal, petani atau buruh kebun kadang tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perdagangan. Petani tetap miskin. Padahal, hasil kebunnya bernilai sangat tinggi di pasar internasional, seperti kopi arabika lintong ini.
Beruntung Toho bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Lintong Organik (APKLO). Organisasi petani berdiri sejak 21 Oktober 2003. APKLO merupakan gabungan beberapa kelompok tani di dua kecamatan, Lintong Ni Huta di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada tahun 2005 APKLO mendapat sertifikasi dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), jaringan organisasi nirlaba berbasis di Bonn, Jerman, yang menyokong perdagangan internasional berjalan adil bagi penghasil komoditas seperti petani dan buruh. APKLO mendapat sertifikasi FLO setelah didampingi Wakachiai Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang.
FLO membuat standardisasi perdagangan yang adil bagi penghasil komoditas, eksportir, dan pembeli. Dalam laman resmi organisasi ini disebutkan, fairtrade adalah pendekatan alternatif dalam perdagangan konvensional. Didasarkan pada kemitraan penghasil komoditas dengan konsumennya, fairtrade menawarkan konsumen cara mengurangi kemiskinan saat mereka
”Fairtrade” premium
Fairtrade memangkas mata rantai perdagangan. Petani seperti Toho bisa menjual kopinya langsung ke importir di Jepang tanpa harus lebih dulu berhubungan dengan pengepul dan tengkulak. ”Petani tak bisa menentukan harga kopi karena selama ini ditentukan tengkulak dan pengepul,” ujar Ketua APKLO Gani Silaban.
”Dengan fairtrade, kami dapat harga standar minimum yang tak terpengaruh gejolak harga kopi dunia. Kalau harga tinggi, kami dapat lebih tinggi. Keuntungan lain, kami dapat fairtrade premium, uang lebih yang tidak termasuk harga standar,” kata Gani.
Fairtrade premium ini menjadi dana komunal petani. Nilai fairtrade premium produk kopi bersertifikat FLO saat ini sekitar Rp 2.000 per kilogram. Dana ini dipakai untuk meningkatkan kapasitas sosial, ekonomi, dan lingkungan petani. Inilah dana yang pengelolaannya dipegang Toho selaku ketua komite premium APKLO. ”Penggunaannya dibicarakan bersama seluruh anggota APKLO,” katanya.
APKLO tahun 2009 mendapat fairtrade premium sebesar Rp 218 juta, hasil produksi kopi 152 petani anggota APKLO setahun. ”Kami gunakan memberi beasiswa anak petani, membeli sarana produksi milik kelompok tani hingga membiayai pelatihan petani. Saya sempat dapat pelatihan di Jepang dari dana ini,” ujar Gani.
FLO tak sembarangan memberikan fairtrade premium. Setiap tahun FLO mengaudit standardisasi pelabelan fairtrade. Gani menuturkan, audit paling ketat diterapkan dalam penggunaan fairtrade premium. Sertifikat dicabut jika dana disalahgunakan. ”Meski FLO tak menjamin bakal ada pembeli, selalu saja ada pembeli luar negeri berminat. Bulan lalu kami sudah mengapalkan 18 ton kopi lintong ke Jepang,” katanya.
Starbucks merupakan salah satu pembeli kopi yang ikut dalam jaringan fairtrade. Ada 24 negara yang punya inisiatif pelabelan fairtrade tersebar di Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang. Di Siborongborong, eksportir kopi lintong yang memasok Starbucks, PT Sumatera Speciallity Coffe (SSS), diminta Starbucks bekerja sama dengan koperasi yang memasok kopi lintong ke mereka agar mendapat sertifikasi FLO.
Koperasi atau kelompok tani seperti APKLO dianggap menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sebagai syarat perdagangan yang adil. Menurut Koordinator PT SSS di Siborongborong Joko Prabowo, perusahaannya menggandeng Wira Koperasi Satolop untuk mendapatkan sertifikasi FLO. Sekitar 4.000 anggota Wira Koperasi adalah petani kopi lintong di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Menurut salah seorang pendiri Wira Koperasi, Robinson Bakara, koperasinya dalam tahap akhir mendapatkan sertifikasi FLO. ”Standardisasi yang harus dipenuhi cukup berat, tapi manfaat perdagangan yang adil bagi petani jauh lebih penting. Kami belajar dari keberhasilan APKLO,” katanya.
Sekarang APKLO berencana membangun gudang dan membeli mesin pengelupas kulit ari biji kopi dari dana fairtrade premium.
Toho menuturkan, dengan memiliki gudang, petani bisa menyimpan stok kopi untuk dijual saat harga tinggi. Mesin pengelupas kulit ari membuat mereka tak perlu menyewa lagi ke eksportir.
Untuk menikmati semerbak aroma kopi lintong produksinya, Toho tak perlu datang ke Starbucks yang menjualnya dengan harga sangat mahal. Perdagangan yang adil membuat Toho cukup menikmati semerbaknya aroma kopi lintong, meski dari kopi bubuk antah berantah yang dibelinya di pasar. (KHAERUDIN)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/05/03131345/kopi.lintong.kini.dinikmati.petani
GORDANG SAMBILAN
Gordang Sambilan: Musik Tradisional Mandailing
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel musik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan digunakan untuk upacara adat.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.
Sumber: http://bahanajarsenimusik.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel musik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan digunakan untuk upacara adat.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.
Sumber: http://bahanajarsenimusik.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
Langganan:
Postingan (Atom)