Jumat, 05 Maret 2010
Wuihh.... Nikmatnya Kopi Mandheling
KOMPAS.com - Anda penikmat kopi? Sudah pernah mendengar atau menikmati kopi Mandheling? Kalau belum, jangan mengaku sebagai penikmat kopi sejati. Setidaknya Anda tahu apa itu kopi Mandheling, meskipun mungkin belum pernah mencicipinya. Hmm…kopi Mandheling? Kopi apa itu? Dari daerah mana?
Ehem…saya juga belum lama tahu sebenarnya. Itu pun setelah mengobrol via dunia maya dengan seorang sahabat. Dia bercerita kalau ternyata selain kopi Sidikalang, kopi Aceh, dan kopi-kopi lain dari daerah-daerah di Indonesia dan terkenal sampai ke penjuru dunia, ada juga yang namanya kopi Mandheling. Kata Mandheling sendiri adalah penyebutan orang-orang asing terhadap kata Mandailing, yang merupakan salah satu nama suku di Sumatera Utara. Bila sedikit dipanjangkan, Mandailing Natal (Madina), nah itu merupakan nama kabupaten di sana, yang jauhnya kira-kira 12 jam dari kota Medan.
Entah kebetulan atau tidak, ketika saya mengobrol tentang kopi Mandailing (saya sebut saja dengan pelafalan Indonesia) dengan sahabat saya itu, saya sedang berada di Panyabungan, ibukota Madina untuk waktu yang cukup lama sampai beberapa bulan. Jujur, saya sebenarnya jadi malu sendiri karena baru tahu perihal kopi Mandailing yang sempat mendunia sejak tahun 1800-an sampai tahun-tahun menjelang Indonesia merdeka, padahal saya sendiri bersuku Mandailing dan memiliki Ayah yang berasal dari suatu desa di Madina.
Kenapa bisa baru tahu ya? Entahlah. Selain karena mungkin saya pribadi tidak terlalu antusias untuk menelusuri sejarah dan warisan kekayaan budaya sendiri (yang amat sangat disayangkan sebenarnya), akhirnya saya menganggap ketidaktahuan saya terhadap hal ini juga dikarenakan tidak satu pun anggota keluarga inti saya yang bergelar penikmat kopi apalagi pecandu, sehingga tidak ada semacam dongeng atau pembicaraan tentang kopi Mandailing ini.
Akhirnya saya cari tahu sendiri melalui internet tentang sejarah kejayaannya di masa lalu. Untuk sejarahnya ini, saya kira cukup menyertakan link saja untuk efisiensi agar tulisan ini tidak terlalu panjang atau sampai dibuat berseri.
Sejak tahu tentang kopi Mandailing ini, saya jadi penasaran dan bahkan ingin mencicipinya. Kebetulan saya sedang tinggal di daerah asalnya sehingga langsung saja saya tanyakan pada orang-orang di sini. Pertama, saya tanyakan dimana itu Pakantan? Pakantan, desa asal Adnan Buyung Nasution ini pernah dijuluki sebagai “gunung mas” karena kekayaan kopi arabica-nya yang melimpah, dan sampai sekarang kebun kopi tua di daerah ini kabarnya masih tersisa sekitar 5 hektar dan tanaman kopinya masih ada yang berumur ratusan tahun.
Sayang, daerah itu ternyata masih jauh dari Panyabungan sehingga rasanya mustahil bagi saya untuk ke sana saat ini, mengingat tujuan utama saya ke kota ini tidak memungkinkan untuk itu. Tapi keinginan itu masih saya endapkan dalam pikiran, hingga akhirnya secara tak sengaja saya menonton acara berita di Metro TV yang pada akhir segmennya memberitakan tentang kopi takar yang ada di Madina. Wow…sangat menarik!
Kopi takar atau kopi batok yang saya lihat di acara televisi itu sungguh unik tampilannya. Sesuai dengan namanya, takar yang berarti tempurung atau batok kelapa menjadi wadah penyajiannya. Batok bukan sembarang batok. Batok kelapa yang ini terbuat dari batok kelapa gading yang dibentuk seperti cangkir lengkap dengan tatakannya. Yang uniknya lagi, kopi khas Madina itu disajikan dalam cangkir batok tersebut dengan sebatang kayu manis dimasukkan ke dalamnya, persis seperti sedotan. Dan memang benar, cara meminumnya sama seperti kita meminum jus dengan sedotan. Hmm…makin penasaran.
Didorong rasa penasaran itu, saya langsung bersemangat untuk segera mencari tahu dimana lokasi warung kopi atau rumah makan yang menyediakan kopi bercita rasa Madina itu. Uniknya, beberapa orang Panyabungan yang saya tanya tidak tahu menahu dimana tempat yang dapat mempertemukan saya dengan kopi takar tersebut. Barulah setelah beberapa waktu saya tahu dari seseorang tentang salah satu rumah makan yang menyediakan menu kopi takar. Konon tidak banyak tempat di sekitar Panyabungan ini yang menyediakan menu tersebut.
Lucunya, rumah makan yang direkomendasikan itu sebenarnya sudah cukup sering saya kunjungi selama tinggal di sini, yang merupakan salah satu rumah makan yang terkenal di Madina karena cita rasa masakan khas Mandailing-nya yang nikmat. Rumah makan itu berdesain seperti pondokan-pondokan yang didirikan di tepi Aek Singolot (Sungai Singolot) yang berbatu-batu dan berair cukup deras.
Di seberang rumah makan yang dibatasi sungai itu berjejer pepohonan yang hampir semuanya adalah pepohonan karet. Terkadang tampak gerombolan kera berkeliaran di sana, berlari-larian dari hulu ke hilir. Pepohonan karet yang rimbun menyerupai hutan itu plus suara aliran sungai yang tak pernah berhenti dari hulu sungguh membuat suasana sangat teduh dan nyaman, meski cuaca sedang terik sekalipun. Tak heran, nafsu makan sering bertambah saat bersantap di tempat ini.
Selama ini saya tidak tahu kalau kopi takar itu ada dalam menu andalan rumah makan yang bernama “Pondok Paranginan” ini. Mungkin karena tidak ada daftar menu sebab semua sajian makanannya dihidang seperti di rumah makan Padang. Selama beberapa kali saya berkunjung ke sana juga tidak ada pelayan yang memberitahu perihal kopi warisan ini atau tidak ada media promosi seperti pamflet atau lainnya.
Maka jadilah, dalam suatu kesempatan saya ke sana. Dengan semangat, saya langsung meminta secangkir kopi takar. Pesanan pun sampai tepat ketika saya telah selesai bersantap siang dengan hidangan Mandailing yang lezat. Apa yang saya lihat persis seperti yang saya lihat di televisi. Secangkir kopi takar plus sebatang kayu manis yang dicelupkan ke dalamnya. Wah, rasanya tak sabar untuk segera mencicipinya.
Saya aduk dulu perlahan kopi hitam yang mengepul dan tampaknya tak terlalu kental tersebut dengan batangan kayu manis. Saya angkat lalu hisap ujung kayu manisnya yang tadi tenggelam dalam kopi. Hmm…agak aneh rasanya. Jelas, karena yang dominan terasa adalah kayu manisnya. Saya coba trik meminumnya seperti yang saya lihat di televisi. Sekarang saya menggunakan batangan kayu manis tersebut sebagai sedotan. Di awal-awal masih belum terasa nikmatnya. Mungkin karena saya sejatinya bukan penikmat kopi. Hanya saja kali ini sedang berperan sebagai pencicip kopi.
Saya makin penasaran dengan kopi ini yang katanya nikmat. Saya coba lagi trik tersebut dengan menyeruputnya perlahan. Saya rasakan bubuk kopi halus memenuhi lidah namun tak sampai membuat saya tersedak karena saking halusnya. Rasa hangat kayu manis mulai menjalari kerongkongan. Saya seruput lagi dan perlahan namun pasti, saya mulai merasakan kenikmatannya. Sebuah perpaduan rasa kopi Madina dan kayu manis yang unik. Tidak terlalu manis dan hangat sampai ke perut. Rasa khawatir yang sering menyergap kala meminum kopi, khususnya kopi instan; jantung berdebar-debar, pusing, sampai berkeringat dingin, tidak dirasakan. Bahkan tubuh dan pikiran terasa lebih segar, padahal sebelumnya sempat merasakan kantuk karena kurang tidur.
Tak lupa, saya sempat tanyakan juga apa saja bahan-bahan untuk membuat kopi takar ini kepada pemilik rumah makan yang ikut turun tangan menangani urusan dapurnya. Ternyata sederhana saja. Kopi Mandailing diseduh dengan rebusan air gula aren, dan sebagai sentuhan akhir, celupkan sebatang kayu manis ke dalamnya. Oh, ini satu lagi yang membuat cita rasa kopi ini berbeda. Gula aren atau gula merah. Hmm…boleh juga, pikir saya. Boleh juga bila menjadikan kopi takar ini sebagai menu wajib yang harus selalu dipesan bila bertandang ke sini. (Annisa F Rangkuti)
Kompas, Jumat, 5 Maret 2010 | 15:36 WIB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar