Oleh Kia Rangkuti
Na landit dalan tu saba tapang
Mamintas bondar tu saba parbalan
Na ancit ma waktu zaman Jopang
Ulit ni ayu baen panutup ni badan
Tano duru madung potpotan
Isuani halak doi sangge-sangge
Dung do zaman madung modern
Pamake ni halak marbage-bage
Targan so sampe tu saba tapang
Ibolus parjolo da saba unte
Ringgas do ia mambantu simatobang
Dung do le ia masuk esempe
Muda ipaias bondar saba unte
Inda da tola na marderet-deret
Dung do si Merdet masuk esempe
Itanda halak maia melalui internet
Saba parbalan na sian dolok
Saba Lambou na sian lombang
Muda ujian nasional dung donok
Ulang be nian sai hamu longang
Mamolus nambur tu Parkutahan
Manyogot ni ari mangguris hapea
Di esema madung bahat parsiajaran
Nabahat gunana di hitaon sasudena
Musim eme musim mardege
Sude do halak marsonang ni roha
Muda lulus ma ia sian esempe
Giot ni rohana baya tu esema
Pakantan dolok pakantan lombang
Mamintas dalan sian Hutanagodang
Muda pamatang baya murmagodang
Nangkan sinaloan doma ambaen podang
Aek Singolot di Purba baru
Aek na macom panumbur saba
Muda dapot baya baju naimbaru
Sonang ni roha da mamakena
Sonang ni roha ni namarsikola
Inda mandemes tu Matematika
Dompak libur sikola anak esema
Manaek aeles ma nian tu Jakarta
Laos mulak mada sian esema
Manguntortor tot idoit daldal
Naribur do baya kota Jakarta
Di trotoar do halak le marjagal
Bahat do halak nian marjagal
Gadisonna muse marasing-asing
Olope bahat di Plaza namarjagal
Inda sadia uida halak Mandailing
Mulak si Merdet tingon Jakarta
Atia si Taing mulak ngon saba
Inda be tarbaen na martata
Dongan “marsilaing” iba tu saba
Olope loja na tingon saba
Inda lupa ia pamangan bodat
Dung do si Merdet masuk esema
Dohot ma ia marsiajar mar”adat”
Na lampas tor lampasan dope gunung
Inda na tarbaen maroban eme sagoni
Harani godangna baya luak Mandailing
Ima ambaen manetek ijur ni Bolanda i
Tano hapea tano ni bargot
Donok muse tanomon eme
Tano sere madung do dapot
Ulang be nian igadis muse
Aha ma baya tabuson di ari poken
Ihan mas baya songon ihan siroken
Sugari bolas baya nian pangidoan
Angkon na sikola songon Sati Nasution
http://www.facebook.com/note.php?note_id=87408559087
Senin, 05 April 2010
NASIB SI PENAGIH UTANG
Oleh Kia Rangkuti
Adong sada carito, ... santabi diita sude. Ulang nian adong na tarsinggung da.
Pada suatu hari, seorang antropolog bercerita kepada murid-2nya, bahwa perilaku (kebiasaan) dari berbagai etnis di Sumatera dapat dijelaskan ketika anggota masyarakat tersebut dihadapkan pada si penagih utang. Kemudian ant ropolog tersebut menjelaskan masing-masing jawaban tiga kelompok etnis (Mandailing, Karo, Batak Toba) ketika utangnya di tagih.
Hari Pertama, yang didatangi si penagih utang adalah orang Mandailing. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Mandailing: tanpa menunjukkan rasa bersalah, dan seolah-olah si penagih utang yang salah, "Aduuuh, kog nggak kau bilang dari kemaren, coba kalau kau bilang kian, kan kusiapkan lah uang itu, sekarang mana ada uang lagi di tangan, sudah kubayarkan untuk keperluan lain". Si penagih utang merasa bersalah, kemudian dia pulang.
Hari Kedua, ang didatangi si penagih utang adalah orang Karo. Penagih utang bilang: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Nande dilunasi". Jawab orang Karo: "Nakkuuuuu, la lit senkuuuu, anakku pun butuh uang tapi la lit sen ku", dengan menunjukkan wajah yang sedih minta dikasihani. Melihat kejadian itu, si penagih utang turut merasa sedih, kemudian dia pulang.
Hari Ketiga, yang didatangi si penagih utang adalah orang Batak Toba. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Batak Toba: dengan nada marah, "Apa kau bilang? utang, u...utang, dari sejak terminal sampai rumah ini kau kau saja yang menagih utang, tak ada, pulang kau". Dengan rasa takut melihat tingkah Bapak itu, akhirnya si penagih utang pun pulang dengan ketakutan.
Tiga hari berurut-turut si penagih utang diliputi rasa bersalah, sedih, takut; bercampur menjadi satu. Sekarang, benar tidaknya cerita "antropolog" tadi, mari kita "simak pelan-pelan" dalam kehidupan ini.
Sekali lagi mohon Kia dimaafkan. Santabi mangulai, sapulu noli marsantabi, tarsorah di ita ma manafsirkonna (@kia).
Wass.
Quiz: anda senang dengan tingkah suku?: (A) Mandailing, (B) Karo, (C) Batak Toba.
Adong sada carito, ... santabi diita sude. Ulang nian adong na tarsinggung da.
Pada suatu hari, seorang antropolog bercerita kepada murid-2nya, bahwa perilaku (kebiasaan) dari berbagai etnis di Sumatera dapat dijelaskan ketika anggota masyarakat tersebut dihadapkan pada si penagih utang. Kemudian ant ropolog tersebut menjelaskan masing-masing jawaban tiga kelompok etnis (Mandailing, Karo, Batak Toba) ketika utangnya di tagih.
Hari Pertama, yang didatangi si penagih utang adalah orang Mandailing. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Mandailing: tanpa menunjukkan rasa bersalah, dan seolah-olah si penagih utang yang salah, "Aduuuh, kog nggak kau bilang dari kemaren, coba kalau kau bilang kian, kan kusiapkan lah uang itu, sekarang mana ada uang lagi di tangan, sudah kubayarkan untuk keperluan lain". Si penagih utang merasa bersalah, kemudian dia pulang.
Hari Kedua, ang didatangi si penagih utang adalah orang Karo. Penagih utang bilang: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Nande dilunasi". Jawab orang Karo: "Nakkuuuuu, la lit senkuuuu, anakku pun butuh uang tapi la lit sen ku", dengan menunjukkan wajah yang sedih minta dikasihani. Melihat kejadian itu, si penagih utang turut merasa sedih, kemudian dia pulang.
Hari Ketiga, yang didatangi si penagih utang adalah orang Batak Toba. Penagih utang berkata: "Saya datang karena waktunya telah tiba agar utang Bapak dilunasi". Jawab orang Batak Toba: dengan nada marah, "Apa kau bilang? utang, u...utang, dari sejak terminal sampai rumah ini kau kau saja yang menagih utang, tak ada, pulang kau". Dengan rasa takut melihat tingkah Bapak itu, akhirnya si penagih utang pun pulang dengan ketakutan.
Tiga hari berurut-turut si penagih utang diliputi rasa bersalah, sedih, takut; bercampur menjadi satu. Sekarang, benar tidaknya cerita "antropolog" tadi, mari kita "simak pelan-pelan" dalam kehidupan ini.
Sekali lagi mohon Kia dimaafkan. Santabi mangulai, sapulu noli marsantabi, tarsorah di ita ma manafsirkonna (@kia).
Wass.
Quiz: anda senang dengan tingkah suku?: (A) Mandailing, (B) Karo, (C) Batak Toba.
Minggu, 04 April 2010
Kopi Lintong Kini Dinikmati Petani
Rumah panggung berdinding kayu itu laburannya telah kusam karena kebanyakan terkena asap dari tungku di dapur. Letaknya persis di samping kebun kopi. Kursi tamunya reyot. Televisi 14 inch, hiburan satu-satunya di rumah tersebut, tertutup taplak kumal.
Pemilik rumah, Toho Manatap Siregar, petani kopi tamatan SMP, yang punya tanggung jawab mengelola uang ratusan juta rupiah, dana komunal petani kopi hasil ekspor dengan standar perdagangan internasional yang adil.
Toho tinggal di Desa Sibuntuon Partea, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Medan, di mana terdapat dua gerai kopi internasional, Starbucks yang menjual kopi arabika lintong. Seperti namanya, Lintong Nihuta menjadi ”rumah” bagi kopi arabika lintong. Lintong Nihuta terletak di dataran tinggi pinggiran Danau Toba sebelah tenggara, yang cocok bagi pertumbuhan kopi jenis arabika.
Di Starbucks, biji kopi arabika lintong yang sudah disangrai dihargai Rp 95.000 setiap kemasan ukuran 250 gram. Bungkusnya eksklusif. Ada dua nama untuk kopi arabika lintong yang dijual Starbucks, Sumatra dan Sumatra Decaf. Yang terakhir oleh Starbucks dibikin dengan kadar kafein lebih rendah.
Kopi arabika lintong atau biasa hanya disebut kopi lintong adalah satu dari tiga brand kopi arabika terkenal dunia yang ditanam di Pulau Sumatera. Dua lainnya adalah kopi mandheling dan kopi gayo.
Saat kami bertandang ke rumahnya, Toho menyuruh anak perempuannya menyuguhkan kopi. Ketika ditanya, apakah itu kopi lintong, Toho malah tertawa. ”Saya pun tak tahu itu kopi apa. Kami cuma jual biji kopi, sudah jarang menyangrai dan menggiling sendiri. Lebih praktis beli kopi bubuk di pasar,” katanya.
Toho tak pernah mencicipi kopi di Starbucks. Dia pun tak tahu, biji kopi dari Lintong yang diekspor, disangrai pembeli di negaranya, ternyata dijual kembali di Indonesia dengan harga sangat mahal.
Dalam rantai perdagangan internasional, di titik paling awal, petani atau buruh kebun kadang tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perdagangan. Petani tetap miskin. Padahal, hasil kebunnya bernilai sangat tinggi di pasar internasional, seperti kopi arabika lintong ini.
Beruntung Toho bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Lintong Organik (APKLO). Organisasi petani berdiri sejak 21 Oktober 2003. APKLO merupakan gabungan beberapa kelompok tani di dua kecamatan, Lintong Ni Huta di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada tahun 2005 APKLO mendapat sertifikasi dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), jaringan organisasi nirlaba berbasis di Bonn, Jerman, yang menyokong perdagangan internasional berjalan adil bagi penghasil komoditas seperti petani dan buruh. APKLO mendapat sertifikasi FLO setelah didampingi Wakachiai Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang.
FLO membuat standardisasi perdagangan yang adil bagi penghasil komoditas, eksportir, dan pembeli. Dalam laman resmi organisasi ini disebutkan, fairtrade adalah pendekatan alternatif dalam perdagangan konvensional. Didasarkan pada kemitraan penghasil komoditas dengan konsumennya, fairtrade menawarkan konsumen cara mengurangi kemiskinan saat mereka
”Fairtrade” premium
Fairtrade memangkas mata rantai perdagangan. Petani seperti Toho bisa menjual kopinya langsung ke importir di Jepang tanpa harus lebih dulu berhubungan dengan pengepul dan tengkulak. ”Petani tak bisa menentukan harga kopi karena selama ini ditentukan tengkulak dan pengepul,” ujar Ketua APKLO Gani Silaban.
”Dengan fairtrade, kami dapat harga standar minimum yang tak terpengaruh gejolak harga kopi dunia. Kalau harga tinggi, kami dapat lebih tinggi. Keuntungan lain, kami dapat fairtrade premium, uang lebih yang tidak termasuk harga standar,” kata Gani.
Fairtrade premium ini menjadi dana komunal petani. Nilai fairtrade premium produk kopi bersertifikat FLO saat ini sekitar Rp 2.000 per kilogram. Dana ini dipakai untuk meningkatkan kapasitas sosial, ekonomi, dan lingkungan petani. Inilah dana yang pengelolaannya dipegang Toho selaku ketua komite premium APKLO. ”Penggunaannya dibicarakan bersama seluruh anggota APKLO,” katanya.
APKLO tahun 2009 mendapat fairtrade premium sebesar Rp 218 juta, hasil produksi kopi 152 petani anggota APKLO setahun. ”Kami gunakan memberi beasiswa anak petani, membeli sarana produksi milik kelompok tani hingga membiayai pelatihan petani. Saya sempat dapat pelatihan di Jepang dari dana ini,” ujar Gani.
FLO tak sembarangan memberikan fairtrade premium. Setiap tahun FLO mengaudit standardisasi pelabelan fairtrade. Gani menuturkan, audit paling ketat diterapkan dalam penggunaan fairtrade premium. Sertifikat dicabut jika dana disalahgunakan. ”Meski FLO tak menjamin bakal ada pembeli, selalu saja ada pembeli luar negeri berminat. Bulan lalu kami sudah mengapalkan 18 ton kopi lintong ke Jepang,” katanya.
Starbucks merupakan salah satu pembeli kopi yang ikut dalam jaringan fairtrade. Ada 24 negara yang punya inisiatif pelabelan fairtrade tersebar di Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang. Di Siborongborong, eksportir kopi lintong yang memasok Starbucks, PT Sumatera Speciallity Coffe (SSS), diminta Starbucks bekerja sama dengan koperasi yang memasok kopi lintong ke mereka agar mendapat sertifikasi FLO.
Koperasi atau kelompok tani seperti APKLO dianggap menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sebagai syarat perdagangan yang adil. Menurut Koordinator PT SSS di Siborongborong Joko Prabowo, perusahaannya menggandeng Wira Koperasi Satolop untuk mendapatkan sertifikasi FLO. Sekitar 4.000 anggota Wira Koperasi adalah petani kopi lintong di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Menurut salah seorang pendiri Wira Koperasi, Robinson Bakara, koperasinya dalam tahap akhir mendapatkan sertifikasi FLO. ”Standardisasi yang harus dipenuhi cukup berat, tapi manfaat perdagangan yang adil bagi petani jauh lebih penting. Kami belajar dari keberhasilan APKLO,” katanya.
Sekarang APKLO berencana membangun gudang dan membeli mesin pengelupas kulit ari biji kopi dari dana fairtrade premium.
Toho menuturkan, dengan memiliki gudang, petani bisa menyimpan stok kopi untuk dijual saat harga tinggi. Mesin pengelupas kulit ari membuat mereka tak perlu menyewa lagi ke eksportir.
Untuk menikmati semerbak aroma kopi lintong produksinya, Toho tak perlu datang ke Starbucks yang menjualnya dengan harga sangat mahal. Perdagangan yang adil membuat Toho cukup menikmati semerbaknya aroma kopi lintong, meski dari kopi bubuk antah berantah yang dibelinya di pasar. (KHAERUDIN)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/05/03131345/kopi.lintong.kini.dinikmati.petani
Pemilik rumah, Toho Manatap Siregar, petani kopi tamatan SMP, yang punya tanggung jawab mengelola uang ratusan juta rupiah, dana komunal petani kopi hasil ekspor dengan standar perdagangan internasional yang adil.
Toho tinggal di Desa Sibuntuon Partea, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari Medan, di mana terdapat dua gerai kopi internasional, Starbucks yang menjual kopi arabika lintong. Seperti namanya, Lintong Nihuta menjadi ”rumah” bagi kopi arabika lintong. Lintong Nihuta terletak di dataran tinggi pinggiran Danau Toba sebelah tenggara, yang cocok bagi pertumbuhan kopi jenis arabika.
Di Starbucks, biji kopi arabika lintong yang sudah disangrai dihargai Rp 95.000 setiap kemasan ukuran 250 gram. Bungkusnya eksklusif. Ada dua nama untuk kopi arabika lintong yang dijual Starbucks, Sumatra dan Sumatra Decaf. Yang terakhir oleh Starbucks dibikin dengan kadar kafein lebih rendah.
Kopi arabika lintong atau biasa hanya disebut kopi lintong adalah satu dari tiga brand kopi arabika terkenal dunia yang ditanam di Pulau Sumatera. Dua lainnya adalah kopi mandheling dan kopi gayo.
Saat kami bertandang ke rumahnya, Toho menyuruh anak perempuannya menyuguhkan kopi. Ketika ditanya, apakah itu kopi lintong, Toho malah tertawa. ”Saya pun tak tahu itu kopi apa. Kami cuma jual biji kopi, sudah jarang menyangrai dan menggiling sendiri. Lebih praktis beli kopi bubuk di pasar,” katanya.
Toho tak pernah mencicipi kopi di Starbucks. Dia pun tak tahu, biji kopi dari Lintong yang diekspor, disangrai pembeli di negaranya, ternyata dijual kembali di Indonesia dengan harga sangat mahal.
Dalam rantai perdagangan internasional, di titik paling awal, petani atau buruh kebun kadang tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan perdagangan. Petani tetap miskin. Padahal, hasil kebunnya bernilai sangat tinggi di pasar internasional, seperti kopi arabika lintong ini.
Beruntung Toho bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Lintong Organik (APKLO). Organisasi petani berdiri sejak 21 Oktober 2003. APKLO merupakan gabungan beberapa kelompok tani di dua kecamatan, Lintong Ni Huta di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada tahun 2005 APKLO mendapat sertifikasi dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), jaringan organisasi nirlaba berbasis di Bonn, Jerman, yang menyokong perdagangan internasional berjalan adil bagi penghasil komoditas seperti petani dan buruh. APKLO mendapat sertifikasi FLO setelah didampingi Wakachiai Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang.
FLO membuat standardisasi perdagangan yang adil bagi penghasil komoditas, eksportir, dan pembeli. Dalam laman resmi organisasi ini disebutkan, fairtrade adalah pendekatan alternatif dalam perdagangan konvensional. Didasarkan pada kemitraan penghasil komoditas dengan konsumennya, fairtrade menawarkan konsumen cara mengurangi kemiskinan saat mereka
”Fairtrade” premium
Fairtrade memangkas mata rantai perdagangan. Petani seperti Toho bisa menjual kopinya langsung ke importir di Jepang tanpa harus lebih dulu berhubungan dengan pengepul dan tengkulak. ”Petani tak bisa menentukan harga kopi karena selama ini ditentukan tengkulak dan pengepul,” ujar Ketua APKLO Gani Silaban.
”Dengan fairtrade, kami dapat harga standar minimum yang tak terpengaruh gejolak harga kopi dunia. Kalau harga tinggi, kami dapat lebih tinggi. Keuntungan lain, kami dapat fairtrade premium, uang lebih yang tidak termasuk harga standar,” kata Gani.
Fairtrade premium ini menjadi dana komunal petani. Nilai fairtrade premium produk kopi bersertifikat FLO saat ini sekitar Rp 2.000 per kilogram. Dana ini dipakai untuk meningkatkan kapasitas sosial, ekonomi, dan lingkungan petani. Inilah dana yang pengelolaannya dipegang Toho selaku ketua komite premium APKLO. ”Penggunaannya dibicarakan bersama seluruh anggota APKLO,” katanya.
APKLO tahun 2009 mendapat fairtrade premium sebesar Rp 218 juta, hasil produksi kopi 152 petani anggota APKLO setahun. ”Kami gunakan memberi beasiswa anak petani, membeli sarana produksi milik kelompok tani hingga membiayai pelatihan petani. Saya sempat dapat pelatihan di Jepang dari dana ini,” ujar Gani.
FLO tak sembarangan memberikan fairtrade premium. Setiap tahun FLO mengaudit standardisasi pelabelan fairtrade. Gani menuturkan, audit paling ketat diterapkan dalam penggunaan fairtrade premium. Sertifikat dicabut jika dana disalahgunakan. ”Meski FLO tak menjamin bakal ada pembeli, selalu saja ada pembeli luar negeri berminat. Bulan lalu kami sudah mengapalkan 18 ton kopi lintong ke Jepang,” katanya.
Starbucks merupakan salah satu pembeli kopi yang ikut dalam jaringan fairtrade. Ada 24 negara yang punya inisiatif pelabelan fairtrade tersebar di Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang. Di Siborongborong, eksportir kopi lintong yang memasok Starbucks, PT Sumatera Speciallity Coffe (SSS), diminta Starbucks bekerja sama dengan koperasi yang memasok kopi lintong ke mereka agar mendapat sertifikasi FLO.
Koperasi atau kelompok tani seperti APKLO dianggap menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sebagai syarat perdagangan yang adil. Menurut Koordinator PT SSS di Siborongborong Joko Prabowo, perusahaannya menggandeng Wira Koperasi Satolop untuk mendapatkan sertifikasi FLO. Sekitar 4.000 anggota Wira Koperasi adalah petani kopi lintong di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Menurut salah seorang pendiri Wira Koperasi, Robinson Bakara, koperasinya dalam tahap akhir mendapatkan sertifikasi FLO. ”Standardisasi yang harus dipenuhi cukup berat, tapi manfaat perdagangan yang adil bagi petani jauh lebih penting. Kami belajar dari keberhasilan APKLO,” katanya.
Sekarang APKLO berencana membangun gudang dan membeli mesin pengelupas kulit ari biji kopi dari dana fairtrade premium.
Toho menuturkan, dengan memiliki gudang, petani bisa menyimpan stok kopi untuk dijual saat harga tinggi. Mesin pengelupas kulit ari membuat mereka tak perlu menyewa lagi ke eksportir.
Untuk menikmati semerbak aroma kopi lintong produksinya, Toho tak perlu datang ke Starbucks yang menjualnya dengan harga sangat mahal. Perdagangan yang adil membuat Toho cukup menikmati semerbaknya aroma kopi lintong, meski dari kopi bubuk antah berantah yang dibelinya di pasar. (KHAERUDIN)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/05/03131345/kopi.lintong.kini.dinikmati.petani
GORDANG SAMBILAN
Gordang Sambilan: Musik Tradisional Mandailing
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel musik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan digunakan untuk upacara adat.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.
Sumber: http://bahanajarsenimusik.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel musik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan digunakan untuk upacara adat.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.
Sumber: http://bahanajarsenimusik.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
Jumat, 26 Maret 2010
Warga Panyabungan Terkena Pemadaman Bergilir
Liputan6.com, Jakarta: Kenyataan pahit karena listrik mati, kini menjadi langganan sehari-hari warga Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Betapa tidak, mulai Sabtu (20/3) pagi Perusahaan Listrik Negara mematikan aliran listrik secara bergilir 10 jam lamanya. Akibatnya, aktivitas warga terganggu, termasuk para wiraswastawan.
Untuk menjalankan usaha, mereka terpaksa menyalakan genset. Jika tidak, mereka akan ditinggal pelanggan. Tentu saja langkah ini akan menambah pengeluaran, bahkan lebih sering merugi. Lebih parah lagi, dalam waktu dekat PLN berencana akan menaikkan tarif dasar listrik.
Menanggapi keluhan pelanggan, pihak PLN setempat saat ini sudah mulai memperbaiki sejumlah fasilitas listrik yang sudah tua. Namun langkah ini tidak menjamin tidak akan ada pemadaman listrik. Dengan pernyataan ini, masyarakat Mandailing Natal nampaknya harus terima nasib.(ADO)
Sabtu, 20 Maret 2010
Jangan Biarkan Narkoba Menjajah Generasi Muda
PANYABUNGAN : Narkoba adalah musuh bangsa termasuk pelajar dan generasi muda. Tidak ada sejarahnya narkoba membuat bahagia, sebaliknya justru menyeret ke gerbang kesengsaraan yang nyata. Maka, tak ada kata lain bagi pelajar dan generasi muda untuk memerangi dunia bernama narkoba.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Madina Drs.H.Musaddad Daulay,MM saat membuka sekaligus menjadi nara sumber pada kegiatan penyuluhan bahaya penyalahahgunaan narkoba bagi ratusan pelajar,pemuda dan masyarakat dilaksanakan Yayasan Pemuda Indonesia ( YPI) Sumut di aula hotel Madina Sejahtera Panyabungan,Rabu ( 10/3).
Menurutnya,peredaran narkoba dan pengguna narkoba kini semakin merebah ditengah-tengah masyarakat Indonesia ,sehingga kondisi sangatlah memperihatinkan bagi bangsa Indonesia .
Selain itu,Musaddad mengungkapkan,barang yang hanya menjanjikan kebahagiaan sesaat itu kini tidak hanya menyerang para orang dewasa saja. Penyalahgunaan narkotika, psiokotropika, dan bahan adiktif lainya kini juga semakin membius para remaja, khususnya mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mereka itu adalah para pelajar dan mahasiswa Indonesia .
Keadaan ini lanjutnya pasti mengguncang dunia pendidikan di Indonesia . Para pelajar dan mahasiswa yang kata orang adalah masa depan bangsa atau bibit-bibit pemimpin bangsa malah justru melakukan tindakan yang melanggar hukum. Ini merupakan perbuatan di luar dugaan.
Karenanya, siswa-siswi di Madina diharapkan untuk giat mengasah minat seperti berkesenian dan olah raga, disamping disiplin untuk belajar giat sebagai tugas utama,jangan kita biarkan narkoba itu menjajah generasi muda Madina.
“Disamping belajar giat, kembangkan terus bakat-bakat seperti seni musik, olah raga dan kegiatan positif lain yang kelak berguna untuk bekal. Yang pasti, jangan mendekati narkoba apalagi mencicipi dan mencoba-coba. Karena narkoba hanya akan menjerumuskan generasi muda ke lembah kesengsaraan,” tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Kapolres Madina diwakili Kasat Narkoba Iptu E.Banjar Nahor mengatakan bahwa sudah sepatutnya pemerintah dan semua elemen masyarakat tanggap dan mendukung upaya pemberantasan narkoba ini untuk menyelamatkan generasi muda kita dari bahaya narkoba yang semakin mengerikan.
Kampanye dan penyuluhan pemberantasan narkoba di Madina lanjutnya, masih sangat perlu ditingkatkan agar gaungnya semakin dapat dirasakan oleh masyarakat luas,sehingga jaringan peredaran narkoba semakin menurun dan korbannya semakin berkurang.
” Kami merasa bangga dan sangat mendukung adanya kegiatan penyuluhan seperti ini,sehingga kampanye dan gebrakan yang dilakukan selama ini akan semakin berkesinambungan,sehingga peredaran narkoba tidak semakin merajalela,” ujarnya.
Sementara Ketua YPI Sumut Muliadi Nasution,SP.Di menjelaskan,kegiatan bertujuan penyuluhan bahaya narkoba bagi pelajar,pemuda dan masyarakat ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasi pemberdayaan potensi pelajar dan pemuda sebagai penyuluh pencegahan narkoba di lingkungan pendidikan Sekolah dan teman sebaya agar perubahan gaya hidup menuju kearah gaya hidup sehat tanpa narkoba dapat terwujud.
Kata dia, bahaya penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh para remaja pelakar dan kondisinya kini sudah sangat memprihatinkan dan merupakan ancaman sangat serius bagi penerima estapet kepemimpinan kita ke depan.
Oleh karenanya, Yayasan Pemuda Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Advokasi Rakyat Sumut dan beberapa instansi terkait di Madina merasa perlu untuk memberikan penyuluhan kepada pelajar,pemuda dan masyarakat sejak dini.Hal ini untuk mencengah supaya pelajar di Madina bisa terhindar dari penyalahgunaan narkoba.
“ Penyuluhan ini bertujuan untuk memberikan kesadaran bagi pelajar,pemuda dan masyarakat tentang bahaya narkoba sudah sangat mendasar ditengah-tengah masyarakat,sehingga mereka akan berupaya menjauhinya sekaligus bisa menjadikan Sumut bersih narkoba,” lanjutnya.***.
Panyabungan, 10 Maret 2010
Sumber: http://www.madina.go.id/news/news_item.asp?NewsID=152
Selasa, 16 Maret 2010
Gubsu Silaturrahmi ke Ponpes Purbabaru
Pimpinan Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru Mandailing Natal H Mustafa Bakri Nasution menyetakan kepemimpinan Gubsu H Syamsul Arifin SE telah dirasakan masyarakat Sumut terutama pola komunikasi yang dibangunnya tidak berjarak dengan rakyat dan visi misinya menyentuh aspek-aspek kehidupan mendasar masyarakat.
Hal ini dikatakannya ketika menerima kunjungan silaturrahmi Gubsu H Syamsul Arifin SE ke Pondok Pesantren tersebut di sela-sela kunjungan kerja Gubsu ke Kabupaten Mandailing Natal, kemarin.
Pada kunjungan ke kabupaten ini Gubsu juga melantik dan mengukuhkan Panitia MTQ ke-32 tingkat Sumut serta mencanangkan dan memberikan bantuan awal pembangunan sarana fasilitas sosial pasca bencana alam di Kecamatan Muara Batanggadis yang berasal dari bantuan masyarakat melalui Rekening Sumut Peduli.
Lebih lanjut H Mustafa Bakri Nasution mengemukakan keluarga besar Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru senantiasa mendukung kepemimpinan dan program Gubsu H Syamsul Arifin SE. Mereka juga mendoakan agar Syamsul Arifin dalam melaksanakan kepemimpinannya dijauhkan oleh Allah SWT dari segala fitnah dan musibah.
Pimpinan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Almarhum Tuan Sjech H Mustafa Husin Nasution pada tahun 1912 dan kini memiliki sekitar 8.200 santri ini mengimbau sesama pimpinan dan umat agar tidak saling menyebar fitnah, apalagi fitnah yang dikembangkan dapat menyesatkan masyarakat bahkan memecah belah persatuan dan kesatuan.
Pada kunjungan ini Gubsu H Syamsul Arifin SE beserta rombongan disambut ribuan santri. Gubsu mengemukakan gembira dan sangat bersyukur dapat berkunjung dan bersilaturrahmi dengan keluarga besar Pondok Pesantren ini yang telah dijanjikannya jauh-jauh hari sebelum menjabat sebagai Gubsu.
"Saya sangat gembira dan bersyukur dapat bersilaturrahmi di sini. Pemerintah Provinsi Sumut maupun saya pribadi mendukung sepenuhnya program-program yang dilaksanakan Pondok Pesantren tertua di Sumut ini," ujarnya.
Gubsu mengakui keberadaan Pondok Pesantren termasuk Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru Mandailing Natal sangat strategis terutama memberhasilkan dua misi utama yaitu rakyat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat tidak bodoh.
"Peran Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru sangat diperlukan dalam memperkokoh keimanan dan ketakwaan masyarakat dalam memperkuat eksistensi basis masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal sebagai 'Serambi Mekkah' di pantai barat Sumut," ujarnya.
Gubsu berharap agar Ulama mendoakan para pemimpin di daerah ini tidak saling mencela, tidak menyebar fitnah, apalagi berkhianat karena indikasi ini adalah penyakit hati yang harus dihindari. "Mari kita mendoakan semoga orang-orang yang menyebar fitnah agar dibimbing oleh Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar," ujarnya.
Gubsu berulang mengemukakan agar semua pihak saling hidup rukun dan damai, tidak saling menyalahkan karena jika kita satu kali menyalahkan orang maka kita harus siap empat kali disalahkan orang.
Pada kesempatan kunjunga kerja ini Gubsu berkesempatan memberikan bantuan pembangunan lokal untuk Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru serta berziarah ke makam pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru Tuan Sjech H Mustafa Husin Nasution. ***
Sumber: http://inimedanbung.com/node/6188/Rabu 10 Februari 2010 — Admin
Minggu, 14 Maret 2010
Menjelang UN, Disdik se-Sumut Teken Integritas Kejujuran
MEDAN (Berita): Dinas Pendidikan (Disdik) se-Sumatera Utara menandatangani perjanjian integritas kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang akan digelar mulai 23 Maret mendatang. Penandatanganan tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatangan perjanjian yang dilakukan oleh Disdiksu dengan kementrian pendidikan nasional (Kemendiknas) beberapa waktu lalu.
“Kejujuran dalam pelaksanaan UN adalah tanggung jawab semua pihak, kita tidak ingin UN kali ini di nodai dengan hal-hal yang melanggar etika,” ujar kepala dinas pendidikan Sumatera Utara (Kadisdiksu), H Bahrumsyah usai melaksanakan penandatangan integritas kejujuran dalam pelaksanaan UN dikantornya Jalan T Cik Ditiro Medan, Jumat (12/3).
Dia mengatakan, sudah saatnya guru dan Disdik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk berusaha sendiri pada saat pelaksanaan UN kerena hasil UN akan dijadikan pemetaan mutu pendidikan guna melalukan pemerataan pendidikan kedepan. “Untuk itulah Disdiksu memanggil seluruh Disdik kabupaten/kota untuk melaksanakan UN secara jujur yang ditandai dengan penandatanganan integritas kejujuran,” tekan Bahrumsyah.
Pada penantanganan tersebut selain dihadiri oleh Disdik 33 kabupten/kota juga dihadiri oleh Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), H Syamsul Arifin yang diwakili oleh Kepala Dinas (Kadis) Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Sumut, Edi Sofyan. Pada kesempatan itu juga dilakukan pembahasan mengenai Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Pendidikan Sumatera Utara yang akan digelar pada 31 Maret mendatang. “Kita juga mengumpulkan bahan-bahan tentang pendidikan yang ada di kabupaten/kota sebagai bahan untuk musrembang,” kata Bahrumsyah.
Sebelumnya, Koordinator pengawas UN dari perguruan tinggi, Prof H Syawal Gultom mengatakan, indikasi adanya kecurangan kemungkinan besar pasti terjadi dan yang terpenting adalah bagaiman untuk meminimalisir kecurangan UN. “Sumber kerawanan UN itu ada pada naskah soal, tentunya mulai dari penulisan naskah, pencetakan, serta pendistribusian dan indikasi lainnya yang mengarah pada kecurangan-kecurangan,” ucap Syawal.
Kerawanan UN, lanjut Syawal, juga tergantung pada keberadaan pengawas. Pengawas ini bertugas mengawasi pelaksanaan UN agar bisa berjalan dengan tertib dan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaannya. “Keberadaan pengawas sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal,” katanya.(aje)
Sumber: Berita Sore on Maret 13, 2010
“Kejujuran dalam pelaksanaan UN adalah tanggung jawab semua pihak, kita tidak ingin UN kali ini di nodai dengan hal-hal yang melanggar etika,” ujar kepala dinas pendidikan Sumatera Utara (Kadisdiksu), H Bahrumsyah usai melaksanakan penandatangan integritas kejujuran dalam pelaksanaan UN dikantornya Jalan T Cik Ditiro Medan, Jumat (12/3).
Dia mengatakan, sudah saatnya guru dan Disdik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk berusaha sendiri pada saat pelaksanaan UN kerena hasil UN akan dijadikan pemetaan mutu pendidikan guna melalukan pemerataan pendidikan kedepan. “Untuk itulah Disdiksu memanggil seluruh Disdik kabupaten/kota untuk melaksanakan UN secara jujur yang ditandai dengan penandatanganan integritas kejujuran,” tekan Bahrumsyah.
Pada penantanganan tersebut selain dihadiri oleh Disdik 33 kabupten/kota juga dihadiri oleh Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), H Syamsul Arifin yang diwakili oleh Kepala Dinas (Kadis) Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Sumut, Edi Sofyan. Pada kesempatan itu juga dilakukan pembahasan mengenai Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Pendidikan Sumatera Utara yang akan digelar pada 31 Maret mendatang. “Kita juga mengumpulkan bahan-bahan tentang pendidikan yang ada di kabupaten/kota sebagai bahan untuk musrembang,” kata Bahrumsyah.
Sebelumnya, Koordinator pengawas UN dari perguruan tinggi, Prof H Syawal Gultom mengatakan, indikasi adanya kecurangan kemungkinan besar pasti terjadi dan yang terpenting adalah bagaiman untuk meminimalisir kecurangan UN. “Sumber kerawanan UN itu ada pada naskah soal, tentunya mulai dari penulisan naskah, pencetakan, serta pendistribusian dan indikasi lainnya yang mengarah pada kecurangan-kecurangan,” ucap Syawal.
Kerawanan UN, lanjut Syawal, juga tergantung pada keberadaan pengawas. Pengawas ini bertugas mengawasi pelaksanaan UN agar bisa berjalan dengan tertib dan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaannya. “Keberadaan pengawas sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal,” katanya.(aje)
Sumber: Berita Sore on Maret 13, 2010
Sebanyak 111 Siswa Berprestasi Dapat Penghargaan Bupati
Written by Edi Saputra
111 siswa SMU dan SMK Negeri yang berprestasi se-Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) mendapatkan piagam penghargaan dari Bupati Sergai, HT Erry Nuradi. Piagam penghargaan ini diserahkan Erry Nuradi di halaman kantor Dinas Pendidikan Sergai di Sei Rampah, Selasa (9/3) lalu.
Dalam kesempatan ini, Erry Nuradi mengatakan setiap siswa sekolah harus mempunyai disiplin dan semangat belajar yang tinggi. Siswa juga harus mempunyai harapan untuk ikut membangun bangsa dan negara, karena siswa merupakan calon pemimpin bangsa masa depan.
Setelah 12 tahun mengikuti pendidikan dasar dan menengah yakni mulai dari tingkat SD sampai SMA dan SMK, para siswa kelas 3 SMA dan SMK yang sebentar lagi akan memasuki Ujian Nasional (UN). "Diharapkan sudah mempunyai cita-cita yang jelas untuk langsung bekerja mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi," papar Erry.
Tamat dari bangku SMA dan SMK, lanjut Bupati, bukan akhir dari pendidikan formal tapi hal itu baru menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. "Tanpa cita-cita dan harapan yang jelas, maka semua kehebatan dan kepintaran yang sudah diperoleh sebelumnya akan hilang tergeser oleh kemajuan zaman," tuturnya.
Apel bersama penyerahan piagam penghargaan kepada 111 siswa berprestasi itu dihadiri juga oleh Kadis Pendidikan Sergai Drs. H. Rifai Bakri Tanjung, para pejabat Dinas Pendidikan Sergai termasuk KCD Kecamatan, Kepala SMA dan SMK serta 2.305 siswa kelas 3 SMA dan SMK se-Kabupaten Sergai.
Sumber: Harian Global- Thursday, 11 March 2010 11:51
111 siswa SMU dan SMK Negeri yang berprestasi se-Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) mendapatkan piagam penghargaan dari Bupati Sergai, HT Erry Nuradi. Piagam penghargaan ini diserahkan Erry Nuradi di halaman kantor Dinas Pendidikan Sergai di Sei Rampah, Selasa (9/3) lalu.
Dalam kesempatan ini, Erry Nuradi mengatakan setiap siswa sekolah harus mempunyai disiplin dan semangat belajar yang tinggi. Siswa juga harus mempunyai harapan untuk ikut membangun bangsa dan negara, karena siswa merupakan calon pemimpin bangsa masa depan.
Setelah 12 tahun mengikuti pendidikan dasar dan menengah yakni mulai dari tingkat SD sampai SMA dan SMK, para siswa kelas 3 SMA dan SMK yang sebentar lagi akan memasuki Ujian Nasional (UN). "Diharapkan sudah mempunyai cita-cita yang jelas untuk langsung bekerja mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi," papar Erry.
Tamat dari bangku SMA dan SMK, lanjut Bupati, bukan akhir dari pendidikan formal tapi hal itu baru menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. "Tanpa cita-cita dan harapan yang jelas, maka semua kehebatan dan kepintaran yang sudah diperoleh sebelumnya akan hilang tergeser oleh kemajuan zaman," tuturnya.
Apel bersama penyerahan piagam penghargaan kepada 111 siswa berprestasi itu dihadiri juga oleh Kadis Pendidikan Sergai Drs. H. Rifai Bakri Tanjung, para pejabat Dinas Pendidikan Sergai termasuk KCD Kecamatan, Kepala SMA dan SMK serta 2.305 siswa kelas 3 SMA dan SMK se-Kabupaten Sergai.
Sumber: Harian Global- Thursday, 11 March 2010 11:51
Rabu, 10 Maret 2010
PEMILU KEPALA DAERAH: Pegawai Negeri Sipil Diminta Tetap Netral
Jakarta, Korps Pegawai Republik Indonesia meminta pegawai negeri sipil di daerah yang sedang melaksanakan pemilihan kepala daerah harus bersikap netral. PNS yang melanggar peraturan netralitas akan diberikan sanksi yang tegas.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni selaku Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Rabu (10/3). ”Perlu diketahui, dulu Korpri berada di luar kedinasan, tetapi sekarang di dalam kedinasan, jadi semua PNS adalah anggota Korpri. Peraturan jelas menyatakan bahwa PNS harus netral dalam pemilu,” kata Diah.
Pasal 79 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melibatkan PNS serta anggota TNI dan Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pilkada. Sanksi bagi PNS yang tidak netral diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Diah meminta kepada pejabat struktural tertinggi di daerah, yaitu sekretaris daerah (sekda), untuk melakukan pembinaan kepegawaian. ”Sekda harus membina pegawai karena sesama PNS, jadi bisa mengawasi dan tidak terimbaskan oleh politik. PNS kadang-kadang ketakutan dengan euforia politik sehingga berpikir, jangan-jangan ganti pejabat, pegawainya juga dihabisi. Ini tidak boleh terjadi karena perjalanan PNS tidak sama dengan karier politik,” ujarnya.
Menurut Diah, Korpri akan bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu untuk mengawasi PNS di daerah yang melaksanakan pilkada. Secara terpisah, anggota Bawaslu, Wirdyaningsih, mengungkapkan, pejabat berkuasa (incumbent) yang maju dalam pilkada mempunyai potensi untuk melibatkan PNS. ”Incumbent melakukan dengan caranya yang halus, dengan melakukan kegiatan-kegiatan terselubung melibatkan PNS,” kata Wirdaningsih.
Dari data Bawaslu disebutkan, dari 93 daerah yang sedang melaksanakan tahapan pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah, 28 daerah mempunyai calon kepala daerah yang incumbent. (SIE)
Sumber: Kompas - Kamis, 11 Maret 2010 | 04:06 WIB
Minggu, 07 Maret 2010
DAVID HILL MENGAMATI MOCHTAR LUBIS
ATMAKUSUMAH
Tidak pernah terbayangkan oleh David T Hill, pengamat masalah Asia dari Australia, bahwa ia akan memerlukan waktu tiga dasawarsa untuk menyelesaikan dan menerbitkan biografi wartawan, sastrawan, dan budayawan Mochtar Lubis, yang memasuki ulang tahun ke-88 pada 7 Maret tahun ini. Buku ini, yang diterbitkan oleh penerbit Routledge di London dan New York menjelang ulang tahun ke-11 windu itu, bukanlah biografi pesanan almarhum dan tidak pula mendapat dukungannya.
Buku ini sarat dengan analisis kritis. Salah satu bagiannya malahan ditolak oleh subyek biografi sehingga penulisnya, yang sudah amat dekat dengan pendiri harian Indonesia Raya itu, merasa gelisah selama bertahun-tahun karena penolakan ini. Tidak terhindarkan lagi, David Hill lambat laun tiba pada sikap mengagumi subyek biografinya dan bahkan merasa perkembangan kehidupannya dipengaruhi oleh Mochtar Lubis. Dalam kedekatan persahabatan ini, Mochtar Lubis memberinya fotokopi naskah asli catatan hariannya ketika ditahan selama dua setengah bulan di tempat tahanan politik Nirbaya, di tepi tenggara Jakarta, pada Februari sampai April 1975.
Catatan harian itu, dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, semula hanya diterbitkan dalam terjemahan bahasa Belanda, berjudul Kampdagboek, di Nederland pada 1979, empat tahun setelah ditulis. Naskah aslinya, Nirbaya—Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, barulah diterbitkan di Jakarta lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu pada 2008. Inilah naskah yang diperoleh David Hill dari Mochtar Lubis. Pada tahun itu pula, penerbit buku ini, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, memprakarsai pemberian penghargaan tahunan, Mochtar Lubis Award, bagi sejumlah kategori karya jurnalistik yang terbaik.
Pelarangan buku
Catatan harian di Nirbaya, yang judul aslinya dari Mochtar Lubis adalah Nirbaya—Sebuah Buku Harian dalam Tempat Tahanan, jauh lebih pendek daripada Catatan Subversif yang pertama kali diterbitkan pada 1980. Naskah ini mencatat pengalamannya dalam penjara dan tahanan rumah hampir terus-menerus selama lebih dari sembilan tahun pada masa Orde Lama, dari 22 Desember 1956 sampai 17 Mei 1966.
Pada masa Orde Baru dan Orde Lama memang biasa terjadi kesulitan menerbitkan buku-buku kritis di dalam negeri. Sering pula terjadi pelarangan buku, yang bahkan masih dapat terjadi sampai sekarang, pada masa Orde Reformasi—karena masih berlaku ”Penetapan Presiden tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum”—yang sudah berumur hampir setengah abad.
Novel Senja di Jakarta, misalnya, barulah dapat diterbitkan di Jakarta pada 1970, tujuh tahun sesudah terjemahannya, Twilight in Jakarta, lebih dulu diterbitkan di London dan beredar di seputar dunia pada awal 1963. Tahun berikutnya novel itu diterbitkan di Amerika Serikat dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1965.
Novel itu, karya fiksi Mochtar Lubis yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris, digambarkan oleh penulis resensi Alan Nicholls dalam harian The Age (16 Maret 1963), surat kabar berpengaruh di Melbourne, Australia, sebagai ”novel penting yang pertama dari Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan membangkitkan perhatian amat besar di mana pun novel ini dibaca”.
”Bongkar pasang” biografi
Akan tetapi, perselisihan pendirian antara subyek biografi dan penulisnya telah memberi hikmah. ”Bongkar pasang” penyusunan biografi ini selama 30 tahun akhirnya dapat menghadirkan kisah perjalanan panjang kehidupan Mochtar Lubis secara lengkap, sejak ia dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922 sampai saat meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004.
Pada awalnya, gagasan untuk menelusuri kehidupan pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya itu merupakan proyek penulisan disertasi ketika David Hill menjadi mahasiswa doktoral pada Pusat Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra sejak 1979. Ia memulai proyek ini sambil mengajar di Departemen Indonesia dan Melayu di Universitas Monash di Melbourne. Biografi yang dihasilkannya baru benar-benar selesai pada 2009 ketika mengajar pada Program Studi Asia di Universitas Murdoch di Perth.
Dua tahun lamanya, 1980 sampai 1982, ia melakukan riset di Indonesia tentang makna posisi Mochtar Lubis dalam pertarungan media pers serta pergolakan kebudayaan, sosial, dan politik di Indonesia selama setengah abad sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Tesis doktoralnya baru rampung enam tahun kemudian, Juli 1988, dengan judul ”Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor”.
Ada perubahan pada judul biografi yang diterbitkan menjelang hari ulang tahun ”wartawan jihad” itu tahun ini: Journalism and Politics in Indonesia—A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. Namun, esensi isinya tetap konstan dan penulisnya tak mundur dari pertentangan pendiriannya dengan subyek biografi. Perhatian penulisnya terutama dipusatkan kepada peranan Mochtar Lubis sebagai redaktur surat kabar dan wartawan selain ketenarannya sebagai pengarang dan tokoh kebudayaan. Akan tetapi, kata David Hill, ”Sadar atau tidak sadar, informasi yang dipilih tentu saja mencerminkan nilai-nilai, perspektif, dan asumsi saya sendiri.”
Wartawan jihad
Mochtar Lubis adalah budaya- wan dan wartawan. Ia adalah sas- trawan, pengarang cerita anak- anak dan satir, kolumnis, pelukis, pematung, pembuat keramik, pencinta pelestarian alam, dan aktivis lingkungan hidup—untuk hanya menyebutkan beberapa di antara kegiatannya. Ia juga peminat, pengamat, dan penulis sejarah. David Hill menyebutnya pula sebagai aktor politik.
Mochtar Lubis bagaikan prisma, menurut David Hill. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.
Dalam masyarakat internasional ia adalah wartawan Indonesia yang paling dikenal. Untuk waktu lama, ia merupakan pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan, sebelum kemudian mengalir terjemahan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. David Hill mengatakan, orang lain mungkin dapat melebihi pencapaiannya dalam satu bidang tertentu. Namun, sulit membayangkan bahwa ada seorang tokoh Indonesia yang lain yang mampu mengungguli keterkenalannya secara internasional dalam dua bidang sekaligus—kesusastraan dan kewartawanan.
David Hill menyebutkan beberapa kekurangan Mochtar Lubis dibandingkan dengan kekuatan atau kelebihan sejumlah wartawan, pemikir, seniman, tahanan politik, dan ”pembangun institusi” sezamannya, seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra. Walaupun demikian, ia berkesimpulan: ”Sebagai wartawan jihad (crusading journalist), Mochtar Lubis menunjukkan keberanian yang gigih, semangat moral yang berapi-api, dan tekad yang teguh.”
Dalam pengamatannya, Mochtar Lubis bagi para wartawan muda merupakan lambang yang berpengaruh, yang memiliki komitmen pada pandangan tertentu tentang apa yang harus dilakukan oleh profesi kewartawanan, yang mempertahankan prinsip-prinsipnya dan akan menanggung akibat-akibatnya. Apabila tidak dapat menerbitkan apa yang menurut keyakinannya perlu dikatakan, Mochtar Lubis akan menerima pembredelan surat kabarnya daripada berkompromi.
”Jurnalismenya yang langsung dan tanpa kompromi (direct, unyielding journalism) berakhir dengan kekalahan, baik pada 1950-an maupun pada 1970-an,” kata David Hill. Surat kabar yang dipimpinnya dibredel pada kedua masa pemerintahan oleh pemerintahan Presiden Soekarno (September 1958) dan pemerintahan Presiden Soeharto (Januari 1974). Ia ditahan pada masa Orde Lama dan juga pada masa Orde Baru tanpa diadili.
Akan tetapi, amatlah besar kekuatan ilham dari upaya (yang dilakukan Mochtar Lubis) itu karena sejumlah besar orang Indonesia, baik para wartawan maupun para pembaca surat kabar, tidak menyukai dan menolak alternatif lain, yaitu jurnalisme berhati-hati dan bermakna ganda (cautious and ambiguous journalism) yang selama beberapa dasawarsa mendominasi jurnalisme Indonesia.
ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta
Kompas, Senin, 8 Maret 2010 | 04:05 WIB
Tidak pernah terbayangkan oleh David T Hill, pengamat masalah Asia dari Australia, bahwa ia akan memerlukan waktu tiga dasawarsa untuk menyelesaikan dan menerbitkan biografi wartawan, sastrawan, dan budayawan Mochtar Lubis, yang memasuki ulang tahun ke-88 pada 7 Maret tahun ini. Buku ini, yang diterbitkan oleh penerbit Routledge di London dan New York menjelang ulang tahun ke-11 windu itu, bukanlah biografi pesanan almarhum dan tidak pula mendapat dukungannya.
Buku ini sarat dengan analisis kritis. Salah satu bagiannya malahan ditolak oleh subyek biografi sehingga penulisnya, yang sudah amat dekat dengan pendiri harian Indonesia Raya itu, merasa gelisah selama bertahun-tahun karena penolakan ini. Tidak terhindarkan lagi, David Hill lambat laun tiba pada sikap mengagumi subyek biografinya dan bahkan merasa perkembangan kehidupannya dipengaruhi oleh Mochtar Lubis. Dalam kedekatan persahabatan ini, Mochtar Lubis memberinya fotokopi naskah asli catatan hariannya ketika ditahan selama dua setengah bulan di tempat tahanan politik Nirbaya, di tepi tenggara Jakarta, pada Februari sampai April 1975.
Catatan harian itu, dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, semula hanya diterbitkan dalam terjemahan bahasa Belanda, berjudul Kampdagboek, di Nederland pada 1979, empat tahun setelah ditulis. Naskah aslinya, Nirbaya—Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, barulah diterbitkan di Jakarta lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu pada 2008. Inilah naskah yang diperoleh David Hill dari Mochtar Lubis. Pada tahun itu pula, penerbit buku ini, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, memprakarsai pemberian penghargaan tahunan, Mochtar Lubis Award, bagi sejumlah kategori karya jurnalistik yang terbaik.
Pelarangan buku
Catatan harian di Nirbaya, yang judul aslinya dari Mochtar Lubis adalah Nirbaya—Sebuah Buku Harian dalam Tempat Tahanan, jauh lebih pendek daripada Catatan Subversif yang pertama kali diterbitkan pada 1980. Naskah ini mencatat pengalamannya dalam penjara dan tahanan rumah hampir terus-menerus selama lebih dari sembilan tahun pada masa Orde Lama, dari 22 Desember 1956 sampai 17 Mei 1966.
Pada masa Orde Baru dan Orde Lama memang biasa terjadi kesulitan menerbitkan buku-buku kritis di dalam negeri. Sering pula terjadi pelarangan buku, yang bahkan masih dapat terjadi sampai sekarang, pada masa Orde Reformasi—karena masih berlaku ”Penetapan Presiden tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum”—yang sudah berumur hampir setengah abad.
Novel Senja di Jakarta, misalnya, barulah dapat diterbitkan di Jakarta pada 1970, tujuh tahun sesudah terjemahannya, Twilight in Jakarta, lebih dulu diterbitkan di London dan beredar di seputar dunia pada awal 1963. Tahun berikutnya novel itu diterbitkan di Amerika Serikat dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1965.
Novel itu, karya fiksi Mochtar Lubis yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris, digambarkan oleh penulis resensi Alan Nicholls dalam harian The Age (16 Maret 1963), surat kabar berpengaruh di Melbourne, Australia, sebagai ”novel penting yang pertama dari Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan membangkitkan perhatian amat besar di mana pun novel ini dibaca”.
”Bongkar pasang” biografi
Akan tetapi, perselisihan pendirian antara subyek biografi dan penulisnya telah memberi hikmah. ”Bongkar pasang” penyusunan biografi ini selama 30 tahun akhirnya dapat menghadirkan kisah perjalanan panjang kehidupan Mochtar Lubis secara lengkap, sejak ia dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922 sampai saat meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004.
Pada awalnya, gagasan untuk menelusuri kehidupan pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya itu merupakan proyek penulisan disertasi ketika David Hill menjadi mahasiswa doktoral pada Pusat Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra sejak 1979. Ia memulai proyek ini sambil mengajar di Departemen Indonesia dan Melayu di Universitas Monash di Melbourne. Biografi yang dihasilkannya baru benar-benar selesai pada 2009 ketika mengajar pada Program Studi Asia di Universitas Murdoch di Perth.
Dua tahun lamanya, 1980 sampai 1982, ia melakukan riset di Indonesia tentang makna posisi Mochtar Lubis dalam pertarungan media pers serta pergolakan kebudayaan, sosial, dan politik di Indonesia selama setengah abad sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Tesis doktoralnya baru rampung enam tahun kemudian, Juli 1988, dengan judul ”Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor”.
Ada perubahan pada judul biografi yang diterbitkan menjelang hari ulang tahun ”wartawan jihad” itu tahun ini: Journalism and Politics in Indonesia—A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. Namun, esensi isinya tetap konstan dan penulisnya tak mundur dari pertentangan pendiriannya dengan subyek biografi. Perhatian penulisnya terutama dipusatkan kepada peranan Mochtar Lubis sebagai redaktur surat kabar dan wartawan selain ketenarannya sebagai pengarang dan tokoh kebudayaan. Akan tetapi, kata David Hill, ”Sadar atau tidak sadar, informasi yang dipilih tentu saja mencerminkan nilai-nilai, perspektif, dan asumsi saya sendiri.”
Wartawan jihad
Mochtar Lubis adalah budaya- wan dan wartawan. Ia adalah sas- trawan, pengarang cerita anak- anak dan satir, kolumnis, pelukis, pematung, pembuat keramik, pencinta pelestarian alam, dan aktivis lingkungan hidup—untuk hanya menyebutkan beberapa di antara kegiatannya. Ia juga peminat, pengamat, dan penulis sejarah. David Hill menyebutnya pula sebagai aktor politik.
Mochtar Lubis bagaikan prisma, menurut David Hill. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.
Dalam masyarakat internasional ia adalah wartawan Indonesia yang paling dikenal. Untuk waktu lama, ia merupakan pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan, sebelum kemudian mengalir terjemahan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. David Hill mengatakan, orang lain mungkin dapat melebihi pencapaiannya dalam satu bidang tertentu. Namun, sulit membayangkan bahwa ada seorang tokoh Indonesia yang lain yang mampu mengungguli keterkenalannya secara internasional dalam dua bidang sekaligus—kesusastraan dan kewartawanan.
David Hill menyebutkan beberapa kekurangan Mochtar Lubis dibandingkan dengan kekuatan atau kelebihan sejumlah wartawan, pemikir, seniman, tahanan politik, dan ”pembangun institusi” sezamannya, seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra. Walaupun demikian, ia berkesimpulan: ”Sebagai wartawan jihad (crusading journalist), Mochtar Lubis menunjukkan keberanian yang gigih, semangat moral yang berapi-api, dan tekad yang teguh.”
Dalam pengamatannya, Mochtar Lubis bagi para wartawan muda merupakan lambang yang berpengaruh, yang memiliki komitmen pada pandangan tertentu tentang apa yang harus dilakukan oleh profesi kewartawanan, yang mempertahankan prinsip-prinsipnya dan akan menanggung akibat-akibatnya. Apabila tidak dapat menerbitkan apa yang menurut keyakinannya perlu dikatakan, Mochtar Lubis akan menerima pembredelan surat kabarnya daripada berkompromi.
”Jurnalismenya yang langsung dan tanpa kompromi (direct, unyielding journalism) berakhir dengan kekalahan, baik pada 1950-an maupun pada 1970-an,” kata David Hill. Surat kabar yang dipimpinnya dibredel pada kedua masa pemerintahan oleh pemerintahan Presiden Soekarno (September 1958) dan pemerintahan Presiden Soeharto (Januari 1974). Ia ditahan pada masa Orde Lama dan juga pada masa Orde Baru tanpa diadili.
Akan tetapi, amatlah besar kekuatan ilham dari upaya (yang dilakukan Mochtar Lubis) itu karena sejumlah besar orang Indonesia, baik para wartawan maupun para pembaca surat kabar, tidak menyukai dan menolak alternatif lain, yaitu jurnalisme berhati-hati dan bermakna ganda (cautious and ambiguous journalism) yang selama beberapa dasawarsa mendominasi jurnalisme Indonesia.
ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta
Kompas, Senin, 8 Maret 2010 | 04:05 WIB
Jumat, 05 Maret 2010
SISI MISTERIUS OTAK MANUSIA
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Setelah ribuan tahun dipelajari dari berbagai, mulai terungkap beberapa sisi misterius otak manusia. Terdapat beberapa fakta yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikir oleh manusia.
Otak adalah salah satu organ yang paling menakjubkan di dalam tubuh manusia, karena ia dapat mengendalikan sistem saraf pusat agar bisa bekerja secara normal.
Otak manusia sangatlah kompleks dan terdiri sekitar 100 miliar saraf (neuron) dan ada begitu banyak hal terjadi di dalam otak dengan berbagai bidang yang berbeda. Karenanya otak termasuk salah satu organ vital dalam kehidupan manusia.
Seperti dikutip dari Howstuffworks, Jumat (5/3/2010) ini dia beberapa fakta lain seputar otak manusia yang belum banyak diketahui:
1. Otak tetap aktif meskipun kepala sudah terpenggal.
Berdasarkan pengamatan beberapa kisah diketahui bahwa otak manusia bisa tetap aktif selama beberapa detik setelah kepalanya dipenggal. Namun para dokter percaya bahwa hal tersebut merupakan refleksi kedut otot.
Dr Harold Hillman, mantan direktur Unity Laboratory of Applied Neural Biology di University of Surrey menuturkan bahwa kematian terjadi karena adanya pemisahan antara otak dengan sumsum tulang belakang, tapi hal ini bersifat menyakitkan sehingga banyak negara yang tidak memberlakukan metode ini.
2. Otak bisa mempelajari pesan bawah sadar.
Otak dapat mempelajari pesan yang berasal dari alam bawah sadar seseorang sehingga nantinya akan mempengaruhi perilaku dari orang tersebut. Banyak perusahaan menggunakan hal ini sebagai ajang promosi untuk mempengaruhi seseorang agar mau membeli produknya.
3. Obat-obatan bisa menyebabkan lubang di otak.
Salah satu penelitian menyatakan penggunaan obat seperti mariyuana bisa menghilangkan sedikit memori, sedangkan untuk obat seperti kokain atau ekstasi dapat menimbulkan lubang di otak. Sebenarnya satu-satunya hal yang dapat menimbulkan lubang di otak adalah akibat adanya trauma atau benturan fisik.
Selain itu sebuah studi dari New Scientist menyatakan penggunaan obat-obatan jangka panjang dapat menyebabkan pertumbuhan tidak normal dari otak yang bersifat permanen, karenanya sulit untuk mengubah perilaku dari seorang pecandu.
4. Otak manusia berwarna abu-abu.
Beberapa bagian dari tubuh memiliki warna tersendiri untuk darah, jaringan, tulang atau cairan lain. Tapi jika otak manusia diawetkan dalam stoples meskipun masih berdenyut kebanyakan berwarna abu-abu, karena itu seluruh otak kadang disebut sebaagi materi abu-abu. Namun otak juga tetap mengandung materi putih yang terdiri dari serat saraf untuk menghubungkan materi abu-abu.
Sedangkan komponen yang berwarna hitam disebut dengan substantia nigra yang merupakan neuromelanin hitam, yaitu pigmen khusus yang sama dengan warna kulit dan rambut dan merupakan batas dari bagian basal ganglia.
5. Otak manusia merupakan otak yang paling besar.
Beberapa binatang bisa menggunakan otaknya untuk melakukan berbagai hal yang dilakukan oleh manusia. Tapi sebenarnya otak manusia berukuran paling besar dibandingkan dengan otak binatang manapun. Rata-rata berat otak manusia dewasa sebesar 1,361 kilogram, berat ini hampir sama dengan binatang lumba-lumba yang dianggap sebagai hewan yang cerdas.
Namun berat dari otak ini dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, sehingga otak manusia tetap saja menjadi yang paling besar. Selain itu kecerdasan juga berkaitan dengan berbagai komponen di otak, dan mamalia memiliki korteks serebral terbesar yang bertanggung jawab terhadap fungsi memori, komunikasi dan berpikir.
(ver/ir)
Detik.health,Jumat, 05/03/2010 18:07 WIB
Wuihh.... Nikmatnya Kopi Mandheling
KOMPAS.com - Anda penikmat kopi? Sudah pernah mendengar atau menikmati kopi Mandheling? Kalau belum, jangan mengaku sebagai penikmat kopi sejati. Setidaknya Anda tahu apa itu kopi Mandheling, meskipun mungkin belum pernah mencicipinya. Hmm…kopi Mandheling? Kopi apa itu? Dari daerah mana?
Ehem…saya juga belum lama tahu sebenarnya. Itu pun setelah mengobrol via dunia maya dengan seorang sahabat. Dia bercerita kalau ternyata selain kopi Sidikalang, kopi Aceh, dan kopi-kopi lain dari daerah-daerah di Indonesia dan terkenal sampai ke penjuru dunia, ada juga yang namanya kopi Mandheling. Kata Mandheling sendiri adalah penyebutan orang-orang asing terhadap kata Mandailing, yang merupakan salah satu nama suku di Sumatera Utara. Bila sedikit dipanjangkan, Mandailing Natal (Madina), nah itu merupakan nama kabupaten di sana, yang jauhnya kira-kira 12 jam dari kota Medan.
Entah kebetulan atau tidak, ketika saya mengobrol tentang kopi Mandailing (saya sebut saja dengan pelafalan Indonesia) dengan sahabat saya itu, saya sedang berada di Panyabungan, ibukota Madina untuk waktu yang cukup lama sampai beberapa bulan. Jujur, saya sebenarnya jadi malu sendiri karena baru tahu perihal kopi Mandailing yang sempat mendunia sejak tahun 1800-an sampai tahun-tahun menjelang Indonesia merdeka, padahal saya sendiri bersuku Mandailing dan memiliki Ayah yang berasal dari suatu desa di Madina.
Kenapa bisa baru tahu ya? Entahlah. Selain karena mungkin saya pribadi tidak terlalu antusias untuk menelusuri sejarah dan warisan kekayaan budaya sendiri (yang amat sangat disayangkan sebenarnya), akhirnya saya menganggap ketidaktahuan saya terhadap hal ini juga dikarenakan tidak satu pun anggota keluarga inti saya yang bergelar penikmat kopi apalagi pecandu, sehingga tidak ada semacam dongeng atau pembicaraan tentang kopi Mandailing ini.
Akhirnya saya cari tahu sendiri melalui internet tentang sejarah kejayaannya di masa lalu. Untuk sejarahnya ini, saya kira cukup menyertakan link saja untuk efisiensi agar tulisan ini tidak terlalu panjang atau sampai dibuat berseri.
Sejak tahu tentang kopi Mandailing ini, saya jadi penasaran dan bahkan ingin mencicipinya. Kebetulan saya sedang tinggal di daerah asalnya sehingga langsung saja saya tanyakan pada orang-orang di sini. Pertama, saya tanyakan dimana itu Pakantan? Pakantan, desa asal Adnan Buyung Nasution ini pernah dijuluki sebagai “gunung mas” karena kekayaan kopi arabica-nya yang melimpah, dan sampai sekarang kebun kopi tua di daerah ini kabarnya masih tersisa sekitar 5 hektar dan tanaman kopinya masih ada yang berumur ratusan tahun.
Sayang, daerah itu ternyata masih jauh dari Panyabungan sehingga rasanya mustahil bagi saya untuk ke sana saat ini, mengingat tujuan utama saya ke kota ini tidak memungkinkan untuk itu. Tapi keinginan itu masih saya endapkan dalam pikiran, hingga akhirnya secara tak sengaja saya menonton acara berita di Metro TV yang pada akhir segmennya memberitakan tentang kopi takar yang ada di Madina. Wow…sangat menarik!
Kopi takar atau kopi batok yang saya lihat di acara televisi itu sungguh unik tampilannya. Sesuai dengan namanya, takar yang berarti tempurung atau batok kelapa menjadi wadah penyajiannya. Batok bukan sembarang batok. Batok kelapa yang ini terbuat dari batok kelapa gading yang dibentuk seperti cangkir lengkap dengan tatakannya. Yang uniknya lagi, kopi khas Madina itu disajikan dalam cangkir batok tersebut dengan sebatang kayu manis dimasukkan ke dalamnya, persis seperti sedotan. Dan memang benar, cara meminumnya sama seperti kita meminum jus dengan sedotan. Hmm…makin penasaran.
Didorong rasa penasaran itu, saya langsung bersemangat untuk segera mencari tahu dimana lokasi warung kopi atau rumah makan yang menyediakan kopi bercita rasa Madina itu. Uniknya, beberapa orang Panyabungan yang saya tanya tidak tahu menahu dimana tempat yang dapat mempertemukan saya dengan kopi takar tersebut. Barulah setelah beberapa waktu saya tahu dari seseorang tentang salah satu rumah makan yang menyediakan menu kopi takar. Konon tidak banyak tempat di sekitar Panyabungan ini yang menyediakan menu tersebut.
Lucunya, rumah makan yang direkomendasikan itu sebenarnya sudah cukup sering saya kunjungi selama tinggal di sini, yang merupakan salah satu rumah makan yang terkenal di Madina karena cita rasa masakan khas Mandailing-nya yang nikmat. Rumah makan itu berdesain seperti pondokan-pondokan yang didirikan di tepi Aek Singolot (Sungai Singolot) yang berbatu-batu dan berair cukup deras.
Di seberang rumah makan yang dibatasi sungai itu berjejer pepohonan yang hampir semuanya adalah pepohonan karet. Terkadang tampak gerombolan kera berkeliaran di sana, berlari-larian dari hulu ke hilir. Pepohonan karet yang rimbun menyerupai hutan itu plus suara aliran sungai yang tak pernah berhenti dari hulu sungguh membuat suasana sangat teduh dan nyaman, meski cuaca sedang terik sekalipun. Tak heran, nafsu makan sering bertambah saat bersantap di tempat ini.
Selama ini saya tidak tahu kalau kopi takar itu ada dalam menu andalan rumah makan yang bernama “Pondok Paranginan” ini. Mungkin karena tidak ada daftar menu sebab semua sajian makanannya dihidang seperti di rumah makan Padang. Selama beberapa kali saya berkunjung ke sana juga tidak ada pelayan yang memberitahu perihal kopi warisan ini atau tidak ada media promosi seperti pamflet atau lainnya.
Maka jadilah, dalam suatu kesempatan saya ke sana. Dengan semangat, saya langsung meminta secangkir kopi takar. Pesanan pun sampai tepat ketika saya telah selesai bersantap siang dengan hidangan Mandailing yang lezat. Apa yang saya lihat persis seperti yang saya lihat di televisi. Secangkir kopi takar plus sebatang kayu manis yang dicelupkan ke dalamnya. Wah, rasanya tak sabar untuk segera mencicipinya.
Saya aduk dulu perlahan kopi hitam yang mengepul dan tampaknya tak terlalu kental tersebut dengan batangan kayu manis. Saya angkat lalu hisap ujung kayu manisnya yang tadi tenggelam dalam kopi. Hmm…agak aneh rasanya. Jelas, karena yang dominan terasa adalah kayu manisnya. Saya coba trik meminumnya seperti yang saya lihat di televisi. Sekarang saya menggunakan batangan kayu manis tersebut sebagai sedotan. Di awal-awal masih belum terasa nikmatnya. Mungkin karena saya sejatinya bukan penikmat kopi. Hanya saja kali ini sedang berperan sebagai pencicip kopi.
Saya makin penasaran dengan kopi ini yang katanya nikmat. Saya coba lagi trik tersebut dengan menyeruputnya perlahan. Saya rasakan bubuk kopi halus memenuhi lidah namun tak sampai membuat saya tersedak karena saking halusnya. Rasa hangat kayu manis mulai menjalari kerongkongan. Saya seruput lagi dan perlahan namun pasti, saya mulai merasakan kenikmatannya. Sebuah perpaduan rasa kopi Madina dan kayu manis yang unik. Tidak terlalu manis dan hangat sampai ke perut. Rasa khawatir yang sering menyergap kala meminum kopi, khususnya kopi instan; jantung berdebar-debar, pusing, sampai berkeringat dingin, tidak dirasakan. Bahkan tubuh dan pikiran terasa lebih segar, padahal sebelumnya sempat merasakan kantuk karena kurang tidur.
Tak lupa, saya sempat tanyakan juga apa saja bahan-bahan untuk membuat kopi takar ini kepada pemilik rumah makan yang ikut turun tangan menangani urusan dapurnya. Ternyata sederhana saja. Kopi Mandailing diseduh dengan rebusan air gula aren, dan sebagai sentuhan akhir, celupkan sebatang kayu manis ke dalamnya. Oh, ini satu lagi yang membuat cita rasa kopi ini berbeda. Gula aren atau gula merah. Hmm…boleh juga, pikir saya. Boleh juga bila menjadikan kopi takar ini sebagai menu wajib yang harus selalu dipesan bila bertandang ke sini. (Annisa F Rangkuti)
Kompas, Jumat, 5 Maret 2010 | 15:36 WIB
Kamis, 04 Maret 2010
Ratusan Pendukung Antarkan Indra Porkas-Firdaus Ke KPUD Madina
Written by Redaksi Web
Thursday, 04 March 2010 13:07
Ratusan pendukung dari berbagai elemen masyarakat mengantarkan pasangan bakal calon (balon) bupati/wakil bupati Ir Indra Porkas Lubis MA-H Firdaus Nasution saat mendaftarkan diri secara resmi ke KPU Madina,Rabu ( 3/2).
Pasangan yang diusung oleh 20 gabungan partai politik ini merupakan pasangan balon bupati dan wakil bupati yang pertama mendaftar, setelah KPU Madina membuka pendaftaran balon yang akan ikut bertarung pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2010, yang dimulai Rabu ( 3/3) hingga Selasa ( 9/3).
Diiringi ratusan pendukungnya, pasangan Porkas-Firdaus mengawali prosesi pendaftaran mulai dari rumah makan Ladang Sari Ipar Bondar Kecamatan Panyabungan dengan konvoi kenderaan roda empat menuju KPUD Madina di Jalan Bakti ABRI. Turut dalam rombongan yang mengiringi, ketua dan sekretaris parpol pendukung, LSM pendukung, maupun simpatisan yang sengaja datang dari berbagai penjuru Madina.
Pasangan Indra-Firdaus tiba di kantor KPU sekira pukul 12.30 WIB, yang diterima langsung oleh ketua KPU Jefri Anthoni SH dan anggota divisi pencalonan Raimah Siregar SPd, serta sejumlah staf yang jauh-jauh hari sudah siap menunggu kedatangan pasangan balon yang akan mendaftarkan dirinya di pentas Pilkada Madina 2010.
Adapun ke 20 partai politik yang mengusung pasangan Indra Porkas-Firdaus Nasution yakni partai Gerindra , PPI , PKNU , Pakar Pangan , PKPB , PPRN , PDP, Kedaulatan , PPIB, PPD, PIS, PDS , Merdeka, PPNUI, PNBKI, PKPI, PMB, Republikan, PPI dan Pelopor dengan akumulasi 53.217 suara.
Pihak KPUD Madina menerima langsung pendaftaran pasangan Porkas-Firdaus Nasution, dengan satu persatu berkas persyaratan pencalonan diteliti, utamanya berkas partai politik yang mengusung untuk dapat secara resmi diterima setelah dinyatakan memenuhi persyaratan.
Setelah satu jam lebih melakukan pemeriksaan berkas, Ketua KPU Jefri Anthoni bersama Raimah Siregar menyatakan menerima berkas pendaftaran Indra Porkas Lubis-Firdaus Nasution sebagai pasangan balon bupati dan wakil bupati Madina priode 2010-2015.
"Berkas sudah menenuhi persyaratan untuk mengajukan calon dan akan diverifikasi sesuai perundang-undangan berlaku, karena bisa saja diprediksi adanya salah satu partai yang mengusung dua atau lebih balon bupati/wakil bupati. Begitupun masih ada lagi yang harus dilengkapi," ujar Jefri.
Hingga sore hari pertama pendaftaran, masih pasangan bakal calon Inrda-Firduas yang mendaftarkan dirinya. " Pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati lainnya,kemungkinan besar mendaftarkan diri dua atau tiga hari kedepan," ujar Jefri Anthoni.
Berantas Korupsi
Pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati Madina, Indra Porkas Lubis MA dan Firdaus Nasution sebelumnya telah menyampaikan visi dan misi yang mereka usung dalam Pilkada Madina 2010.
Dalam pemaparan keduanya, pasangan ini telah bertekad untuk memberantas korupsi dan mengembalikan hak rakyat. Balon bupati Indra Porkas menyampaikan misi kepemimpinannya nanti dengan mewujudkan masyarakat Madina yang dinamis, sejahtera, dan terdepan.
Selain itu, pasangan ini menyampaikan misi mereka dalam pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak di Madina. Indra menyampaikan, misi utama yang diembannya bersama Firdaus Nasution adalah mewujudkan dengan segera pembangunan Infrastruktur terutama jalan dan jembatan untuk menjangkau desa-desa terpencil.
Kemudian misi yang kedua adalah memperbaiki sector pendidikan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang diiringi dengan sekolah gratis selama 12 tahun, ulai dari sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah sampai dengan sekolah menengah atas atau madrasah Aliyah.
Masalah kesehatan rakyat juga menjadi bagian dari misi pasangan ini yang akan menerapkan pembiayaan kesehatan gratis kepada masyarkat ekonomi lemah.
Indra dan Firdaus lebih lanjut menekankan akan tetap fokus didalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keduanya juga menegaskan, pemakaian APBD Madina yang tidak berpihak kepada kemaslahatan masyarakat akan dihapuskan.
Keduanya juga mengungkapkan akan mengawal unsur keislaman yang sangat melekat di wajah Kabupaten Madina dengan memberantas penyakit sosial masyarakat seperti adanya minuman keras, narkoba, maupun prostitusi.
"Visi misi pasangan ini sangat jelas, yakni membangun Madina dengan mempergunakan skala prioritas. Saya berharap Golkar dapat mendukung bakal calon ini," ujar salah seorang tokoh masyarakat madina, H Choirudin Nasution, yang juga diaminkan oleh Ketua MPC PP Madina Syahriwan Nasution.
SUMBER: HARIAN GLOBAL
Thursday, 04 March 2010 13:07
Ratusan pendukung dari berbagai elemen masyarakat mengantarkan pasangan bakal calon (balon) bupati/wakil bupati Ir Indra Porkas Lubis MA-H Firdaus Nasution saat mendaftarkan diri secara resmi ke KPU Madina,Rabu ( 3/2).
Pasangan yang diusung oleh 20 gabungan partai politik ini merupakan pasangan balon bupati dan wakil bupati yang pertama mendaftar, setelah KPU Madina membuka pendaftaran balon yang akan ikut bertarung pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2010, yang dimulai Rabu ( 3/3) hingga Selasa ( 9/3).
Diiringi ratusan pendukungnya, pasangan Porkas-Firdaus mengawali prosesi pendaftaran mulai dari rumah makan Ladang Sari Ipar Bondar Kecamatan Panyabungan dengan konvoi kenderaan roda empat menuju KPUD Madina di Jalan Bakti ABRI. Turut dalam rombongan yang mengiringi, ketua dan sekretaris parpol pendukung, LSM pendukung, maupun simpatisan yang sengaja datang dari berbagai penjuru Madina.
Pasangan Indra-Firdaus tiba di kantor KPU sekira pukul 12.30 WIB, yang diterima langsung oleh ketua KPU Jefri Anthoni SH dan anggota divisi pencalonan Raimah Siregar SPd, serta sejumlah staf yang jauh-jauh hari sudah siap menunggu kedatangan pasangan balon yang akan mendaftarkan dirinya di pentas Pilkada Madina 2010.
Adapun ke 20 partai politik yang mengusung pasangan Indra Porkas-Firdaus Nasution yakni partai Gerindra , PPI , PKNU , Pakar Pangan , PKPB , PPRN , PDP, Kedaulatan , PPIB, PPD, PIS, PDS , Merdeka, PPNUI, PNBKI, PKPI, PMB, Republikan, PPI dan Pelopor dengan akumulasi 53.217 suara.
Pihak KPUD Madina menerima langsung pendaftaran pasangan Porkas-Firdaus Nasution, dengan satu persatu berkas persyaratan pencalonan diteliti, utamanya berkas partai politik yang mengusung untuk dapat secara resmi diterima setelah dinyatakan memenuhi persyaratan.
Setelah satu jam lebih melakukan pemeriksaan berkas, Ketua KPU Jefri Anthoni bersama Raimah Siregar menyatakan menerima berkas pendaftaran Indra Porkas Lubis-Firdaus Nasution sebagai pasangan balon bupati dan wakil bupati Madina priode 2010-2015.
"Berkas sudah menenuhi persyaratan untuk mengajukan calon dan akan diverifikasi sesuai perundang-undangan berlaku, karena bisa saja diprediksi adanya salah satu partai yang mengusung dua atau lebih balon bupati/wakil bupati. Begitupun masih ada lagi yang harus dilengkapi," ujar Jefri.
Hingga sore hari pertama pendaftaran, masih pasangan bakal calon Inrda-Firduas yang mendaftarkan dirinya. " Pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati lainnya,kemungkinan besar mendaftarkan diri dua atau tiga hari kedepan," ujar Jefri Anthoni.
Berantas Korupsi
Pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati Madina, Indra Porkas Lubis MA dan Firdaus Nasution sebelumnya telah menyampaikan visi dan misi yang mereka usung dalam Pilkada Madina 2010.
Dalam pemaparan keduanya, pasangan ini telah bertekad untuk memberantas korupsi dan mengembalikan hak rakyat. Balon bupati Indra Porkas menyampaikan misi kepemimpinannya nanti dengan mewujudkan masyarakat Madina yang dinamis, sejahtera, dan terdepan.
Selain itu, pasangan ini menyampaikan misi mereka dalam pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak di Madina. Indra menyampaikan, misi utama yang diembannya bersama Firdaus Nasution adalah mewujudkan dengan segera pembangunan Infrastruktur terutama jalan dan jembatan untuk menjangkau desa-desa terpencil.
Kemudian misi yang kedua adalah memperbaiki sector pendidikan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang diiringi dengan sekolah gratis selama 12 tahun, ulai dari sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah sampai dengan sekolah menengah atas atau madrasah Aliyah.
Masalah kesehatan rakyat juga menjadi bagian dari misi pasangan ini yang akan menerapkan pembiayaan kesehatan gratis kepada masyarkat ekonomi lemah.
Indra dan Firdaus lebih lanjut menekankan akan tetap fokus didalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keduanya juga menegaskan, pemakaian APBD Madina yang tidak berpihak kepada kemaslahatan masyarakat akan dihapuskan.
Keduanya juga mengungkapkan akan mengawal unsur keislaman yang sangat melekat di wajah Kabupaten Madina dengan memberantas penyakit sosial masyarakat seperti adanya minuman keras, narkoba, maupun prostitusi.
"Visi misi pasangan ini sangat jelas, yakni membangun Madina dengan mempergunakan skala prioritas. Saya berharap Golkar dapat mendukung bakal calon ini," ujar salah seorang tokoh masyarakat madina, H Choirudin Nasution, yang juga diaminkan oleh Ketua MPC PP Madina Syahriwan Nasution.
SUMBER: HARIAN GLOBAL
Jumat, 26 Februari 2010
Anggota DPRD Mandailing-Natal Bawa Nurhabibah ke Rumah Sakit
February 25, 2010
www.liputan6.com
Nurhabibah, balita penderita gizi buruk di Mandailing Natal, Sumut
Panyabungan: Rasa haru bercampur senang terpancar dari mata Fatimah saat mengetahui Nurhabibah akan dirawat di Rumah Sakit Umum Payambungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Selasa (23/2). Nurhabibah yang berasal dari Desa Barbaran Julu, itu menderita gizi buruk sejak lahir.
Salah seorang anggota DPRD Mandailing Natal, Iskandar Hasibuan, sempat mempertanyakan perhatian pemerintah daerah. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat juga dinilainya lalai dalam memantau kondisi kesehatan warga. Ini disampaikan Iskandar ketika menjenguk Nurhabibah di rumah sakit.
Biaya pengobatan Nurhabibah juga ditangani penuh oleh Komisi IV DPRD setempat. Kemiskinan membuat bayi berusia satu tahun ini menderita gizi buruk. Berat badanya hanya enam kilogram, sementara berat bayi normal seusianya adalah 11 kg [baca: Nurhabibah Kekurangan Nutrisi Sejak Lahir]. (OMI/ANS)
http://apakabarsidimpuan.com/2010/02/anggota-dprd-mandailing-natal-bawa-nurhabibah-ke-rumah-sakit/
Minggu, 14 Februari 2010
DEMOKRASI ERA KUANTUM
Oleh Yasraf Amir Piliang
Iklim demokratisasi di atas tubuh bangsa akhir-akhir ini menampakkan watak anomali, ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan tindakan para elite politik yang kian kehilangan tujuan. Alih-alih menjadi agen pembangun karakter, pengayaan makna dan sublimasi kultur demokrasi, para elite politik justru menjadi parasit demokrasi, yang memangsa nilai-nilai kultur demokrasi dari dalam, melalui perilaku ironik mereka di dalam ruang virtualitas media.
Mesin demokrasi yang mestinya dibangun oleh kekuatan pikiran, pengetahuan, dan intelektualitas, kini dikuasai oleh mesin- mesin citra, tontonan, dan teater politik di atas panggung ”masyarakat tontonan politik” (society of political spectacle) yang menyuguhkan aneka artifisialitas, banalitas, dan distorsi politik. Mesin komunikasi politik yang diharapkan dapat mendiseminasi ide, pengetahuan, dan gagasan cerdas politik kini menjadi ajang retorika, parodi, dan seduksi virtual politik. Akibatnya, proses demokratisasi tak mampu membangun arsitektur masyarakat politik yang cerdas, etis, dan estetis karena pendidikan warga (civic education) kini telah diambil alih oleh ”penghiburan warga” (civic entertainment). Elite politik yang mestinya menjadi pelopor pencerahan dan pencerdasan warga justru terperangkap di dalam skema banalitas, artifisialitas, dan virtualitas media (elektronik), yang menyerahkan dirinya pada logika komersialitas, popularitas, dan selebriti media.
Narsisisme demokrasi
Pilar-pilar penyangga arsitektur demokrasi kini tampak kian keropos bukan karena kekuatan eksternal, tetapi oleh parasit internal elite politik. Simbiosis antara mesin politik dan mesin media yang semula diharapkan dapat memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi, kini justru menjadi virus perusak nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri. Dalam simbiosis itu, para elite justru disibukkan oleh hasrat publisitas, popularitas, dan selebriti sehingga melupakan tanggung jawab politik.
Demokratisasi di atas tubuh bangsa ini diuntungkan oleh ”pers bebas” energentik produk reformasi yang memungkinkan ”pasar bebas” ide dan gagasan politik. Sebagaimana dikatakan Robert M Entman di dalam Democracy Without Citizens (1989), kebebasan media mestinya mendorong demokrasi dengan menstimulasi kepentingan politik warga melalui suplai informasi cerdas dan kritis untuk menjaga akuntabilitas pemerintah.
Akan tetapi, selera rendah politik (political kitsch) yang terbangun dalam simbiosis elite politik dan media justru menggiring wacana politik pada watak banalitas politik hampa pengetahuan, pencerdasan, dan pencerahan. Pengetahuan, kompetensi, dan perilaku elite-elite politik nyatanya kian memburuk. Tindak politik yang sama sekali terlepas dari virtue—yang mestinya memberikan efek ”kebaikan” (goodness), ”kemuliaan”, ”keluhuran”, honour, ”pencerahan”, dan ”keotentikan (authenticity)—kini justru menunjukkan watak banalitas, kedangkalan, manipulasi, dan penipuan massa (mass deception). Ruang publik politik tanpa virtue dirayakan oleh para oportunis, narsis, dan selebriti politik, sebagai tempat mendongkrak fame.
Demokrasi kini menjadi ”demokrasi narsisistik” (narcissistic democracy), yang di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) disibukkan mengatur penampilan dan citra diri di depan kamera televisi ketimbang mengasah pisau nalar memikirkan rakyat.
Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism (1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.
Alih-alih menjadi ”subyek politik” yang punya kuasa dan otoritas mengubah struktur wacana demokrasi (discourse of democracy), dengan memperkaya nilai dan maknanya, para elite politik justru menjadi ”obyek wacana”, yaitu individu yang tunduk pada hukum, logika, dan strategi wacana media (televisi) sendiri. Subyek politik larut dalam skema hasrat, fantasi, dan mitos-mitos yang dibangun media, tunduk pada logika citra, fetisisme, dan tontonannya, yang menawarkan dunia gemerlap selebriti.
Irasionalitas demokrasi
Arsitektur demokrasi yang dibangun di atas hegemoni media menciptakan distorsi tujuan masyarakat demokratis itu sendiri karena baik pengetahuan, gagasan, strategi, maupun tindakan politik dikonstruksi di dalam skema logika media. Masyarakat demokratis yang mempunyai rasionalitas sendiri untuk mencapai tujuan dan ideal-ideal kolektif, kini diinfiltrasi oleh ”rasionalitas” media, yang menggiringnya pada tujuan-tujuan yang bias dan distortif.
Rasionalitas politik menyangkut pilihan tindakan dan keputusan politik untuk mencapai tujuan dan ideal-ideal politik tertentu. ”Tindak rasional”, menurut Jurgen Habermas di dalam The Theory of Communicative Action (1984) adalah tindak yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama masyarakat politik (purposive action). Untuk itu, diperlukan ruang publik ideal, tempat berlangsungnya tindak komunikasi politik tanpa tekanan, represi, dan kekerasan. Komunikasi politik pada abad informasi kini memang tak lagi diganggu oleh aneka represi dan kekerasan rezim otoriter—melalui komunikasi satu arah dan satu dimensi—tetapi rawan terhadap manipulasi, distorsi, dan simulasi imagologis karena sifat artifisialitasnya.
Logika artifisialitas dan virtualitas media itu justru yang dapat meruntuhkan bangun rasionalitas politik karena aktor-aktor politik yang terjebak dalam gemerlap selebriti media tak mampu menghasilkan produk keputusan politik yang rasional. Inilah yang terjadi dengan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century.
Pembelokan dari substansialitas politik ke arah artifisialitas politik—tanpa disertai oleh kecerdasan, intelektualitas, dan virtue politik—akan membahayakan sustainabilitas wacana politik bangsa ke depan karena ada distorsi pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi politik yang dikembangkan, yang kini semata diarahkan untuk menggapai popularitas dan selebriti sebagai jalan memperoleh kekuasaan (power). Tak ada ruang bagi pendidikan dan pencerdasan masyarakat politik.
Ironisnya, dalam abad virtual ini, para elite politik tak mampu membangun tindak komunikasi politik efektif dengan warga sehingga tak dapat memproduksi pengetahuan yang diperlukan bagi pencerdasan warga. Komunikasi politik kini memang tidak diganggu oleh tekanan, represi, dan kekerasan simbolik—sebagaimana dalam rezim totaliter— tetapi terdistorsi oleh skema seduksi, retorika, dan simulasi citra banal dan artifisial yang menyumbat saluran pengetahuan substansial dan kebenaran politik (political truth).
Politik abad kuantum
Elite-elite politik abad informasi kini menemukan ruang ”kebebasan” baru yang tak diperoleh sebelumnya. Akan tetapi, sukses mendapatkan kembali ruang kebebasan itu tak berarti sukses membangun arsitektur demokrasi itu sendiri. Kebebasan yang diperoleh oleh para elite politik ataupun warga—tanpa disertai pengetahuan, intelektualitas, dan virtue—hanya menciptakan ”immoralitas politik” (political immorality), yang mendekonstruksi nilai-nilai moral politik. Imoralitas elite politik diikuti imoralitas warga. Peralihan dari geopolitik ke arah politik jejaring (neto-politics), sebagaimana dikatakan Alexander Bard dan Jan Soderquist di dalam Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism (2002) telah mengubah watak demokrasi ke arah ”transparansi ekstrem” (extreme transparency).
Di dalam ”demokrasi ekstrem” ini dimungkinkan ”penelanjangan” apa pun, misalnya, ”penelanjangan” aneka lembaga (kepresidenan, kepolisian, DPR, Bank Century) oleh ”warga virtual’ sehingga tak ada lagi yang dapat dirahasiakan dan disembunyikan. Inilah demokrasi abad kuantum.
Di dalam politik abad kuantum yang dirayakan adalah para ”pencari perhatian” (attentionalist), yaitu elite-elite yang berupaya mencari sanjungan publik melalui seduksi media. Kondisi ini membahayakan masa depan demokrasi itu sendiri, yang digiring ke arah kondisi ”desubstansialiasi demokrasi’ (democratic desubstantiality). Ruang politik tidak dibangun oleh imajinasi dan ideal-ideal politik yang substansial bagi pencerahan masyarakat politik, tetapi oleh ”imajinasi-imajinasi populer” (popular imagination) yang menghadirkan tontonan banalitas dan kitsch politik.
Demokrasi di atas tubuh bangsa yang telanjur berwatak ”liberal”—karena lebih mengutamakan ”kebebasan” (freedom) ketimbang ”keadilan” (justice)—dengan para elite politik berwatak selebriti, telah mengancam kultur demokrasi warisan para founding father. Semangat individualistik, pragmatik, dan selfishness yang menjadi watak ”demokrasi narsisistik” memangsa nilai-nilai virtue yang berakar pada kultur politik bangsa, seraya menghancurkan nilai- nilai kebersamaan, kolektivitas, dan persatuan melalui politik pengabaian rakyat.
Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute; Pemikir Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-ITB (SUMBER: www.kompas.com/ Senin, 15 Februari 2010 | 02:41 WIB
Sabtu, 13 Februari 2010
ETIKA PENDIDIKAN DITINJAU DARI KEARIFAN LOKAL MANDAILING
Oleh Drs. Irsan, M.Pd., M.Si.
A. PENDAHULUAN
Sungguh merupakan satu kebanggan tersendiri bagi penulis karena memperoleh kesempatan menyumbangkan tulisan dalam forum Seminar Nasional dengan tema Etika Pendidikan, meskipun yang melaksanakan seminar ini adalah organisasi profesi di bidang manajemen pendidikan, ISMaPI Sumut. Seminar kali ini bertujuan untuk (1) menelaah etika pendidikan dari berbagai sudut pandang (akademik, birokrat, dan politik), dan (2) mendesiminasikan konsep-konsep baru pengelolaan pendidikan yang beretika berkaitan dengan profesionalisme manajer, supervisor, dan pemimpin pendidikan.
Belakangan ini, didasari atau tidak, sudah banyak praktik pendidikan kita yang dianggap bertentangan dengan etika, baik yang dilaksanakan oleh praktisi pendidikan maupun aparat birokrasi pendidikan. Kasus-kasus tentang ini tentu saja sudah banyak, mulai dari kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, perlakuan tidak adil dan tidak fair dalam pelaksanaan Ujian Nasional, sampai kepada karya ilmiah asli tapi palsu (”aspal”). Pelaksanaan pendidikan yang tidak memiliki etika yang tidak diharapkan diyakini akan berdampak pada masa depan generasi muda. Penerapan etika dalam praktik pendidikan sangat tergantung pula pada kondisi lingkungan masyarakat. Jadi etika pendidikan bukan hanya persoalan internal sekolah semata. Tulisan ini dimulai dengan pengertian etika, kemudian dilanjutkan dengan praktik etika pendidikan ditinjau dari aspek budaya atau adat istiadat yang ada pada kelompok masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan ini penulis anggap sangat penting meskipun tujuan seminar ini tidak mencantumkan secara eksplisit tinjauan dari aspek budaya.
B. ETIKA DAN ETIKA PENDIDIKAN
Dalam bahasa Yunani, etika berasal dari ethos yang berarti sikap dasar atau keyakinan seseorang atau sekelompok orang dalam bidang tertentu (Dictionary of Sociology). Dalam hal ini, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang dikerjakannya salah atau benar, buruk atau baik. Etika merupakan refleksi dari apa yang disebut self control, karena segala sesuatu dibuat dan diterapkan dari dan untuk kelompok masyarakat tertentu.
Di sisi lain, etika juga merupakan filsafat merefleksikan ajaran moral yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika juga merupakan ilmu tentang norma, nilai, dan ajaran moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat diantara sekelompok manusia. Norma moral berkaitan dengan bagaimana manusia hidup supaya menjadi manusia yang baik. Dalam pandangan filsafat, etika tidak mempersoalkan keadaan manusianya, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus berperilaku. Perilaku manusia ditentukan oleh norma, dan norma dapat berasal dari aturan perundangan, agama, maupun kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat.
Etika pendidikan dapat dipahami sebagai nilai-nilai atau norma moral yang dijadikan pedoman perilaku dalam praktik pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Nilai-nilai (values) atau sistem nilai (value system) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Perilaku personal yang dianggap “menyimpang” sering menjadi sorotan masyarakat.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang kehidupan, tuntutan kompetisi global, serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan pendidikan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi kependidikan dalam mengembangkan profesionalisme untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etika dan moral yang tinggi. Sikap profesional yang kokoh dari setiap tenaga kependidikan akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri, dan keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan pelayanan dimana hak dan kewajiban setiap orang selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
Menarik untuk memahami nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional sebagaimana yang telah dilakukan oleh Taylor, Lillies, dan Mone (1997), yaitu: (1) Aesthetics (keindahan), kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian, seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas, imajinasi, sensitifitas dan kepedulian; (2) Altruism (mengutamakan orang lain), kesediaan memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan; (3) Equality (kesetaraan), memiliki hak atau status yang sama termasuk penerimaan dengan sikap kejujuran, harga diri, dan toleransi; (4) Freedom (kebebasan), memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan termasuk percaya diri, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan diri sendiri; (5) Human dignity (martabat manusia), berhubungan dengan penghargaan yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh terhadap kepercayaan; (6) Justice (keadilan), menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta kewajaran; dan (7) Truth (kebenaran), menerima kenyataan dan realita, termasuk akuntabilitas, kejujuran, dan reflektifitas yang rasional. Ketujuh nilai-nilai esensial tersebut memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dalam kelompok mayarakat tertentu.
C. ORGANISASI SEKOLAH DAN KETERAMPILAN HIDUP
Sejak kita lahir sampai suatu saat meninggal, kita selalu berurusan dengan organisasi. Melalui organisasi, manusia dapat mempertemukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain; misalnya: kepentingan peserta didik, kepentingan guru, kepentingan orangtua (masyarakat), pemerintah. Dengan demikian, organisasi dapat dikatakan sebagai kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan batasan yang jelas dan keterikatan bersama untuk mencapai tujuan.
Telah lama kita pahami bahwa para orangtua menyerahkan urusan pendidikan generasi muda kepada sekolah. Setiap tahun sekolah menerima dan meluluskan peserta didik, maka setiap tahun pula sekolah tersebut dihadapkan kepada peluang dan tantangan. Pada sisi lain, sekolah sebagai lembaga pendidikan didirikan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh seluruh anggota untuk dicapai di masa yang akan datang. Setiap orang bergabung dengan organisasi selalu didasarkan atas pencapaian tujuan tertentu. Dengan demikian, ada kemungkinan terdapat tujuan yang saling bertentangan di dalam sebuah organisasi. Tugas pemimpin adalah menyelaraskan (align) tujuan-tujuan yang saling bertentangan tersebut.
Jika ditinjau dari siklus kehidupan organisasi, maka sekolah juga memiliki daur hidup dan memiliki dinamika tersendiri. Sekolah didirikan, dipelihara, kemudian tumbuh, berkembang baik; atau penuh dengan masalah, mundur, dan kemudian mati atau dimerger. Ada sekolah yang kinerjanya baik sehingga banyak peminatnya, dan ada pula sekolah yang kinerjanya buruk sehingga kurang diminati masyarakat. Ada sekolah yang dapat bertahan lama dan melahirkan manusia-manusia kreatif, namun ada juga sekolah yang hanya terdengar saja karena prestasi lulusannya tidak “diperhitungkan”. Ternyata sekolah seperti makhluk hidup juga. Oleh karena itu, pengelolaan sekolah juga memerlukan landasan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat sekitar sekolah perlu turut serta memiliki dan bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah.
Secara makro, sekolah sebagai sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan, situasi lingkungan global tidak mungkin dihindari tapi harus diantisipasi. Jika dianalisis dari level mikro, maka analisis mengarah kepada pribadi-pribadi anggota organisasi sekolah, meliputi sikap, perilaku, nilai-nilai, motivasi, kepemimpinan, kepribadian, dan lain-lain. Pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) menginginkan agar sekolah dapat bertahan hidup lama dan memberikan manfaat yang besar dalam mempersiapkan menerasi muda untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global. Berkaitan dengan hal ini, Tony Wagner (2008) mengemukakan 7 keterampilan yang perlu dimiliki peserta didik untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global tersebut, yaitu: (1) keterampilan berpikir kreatif dan memecahkan masalah, (2) keterampilan bekerjasama melalui jaringan dan memimpin dengan pengaruh (bukan dengan kewenangan), (3) keinginan yang kuat dan kemampuan beradaptasi, (4) memiliki inisiatif dan jiwa kewirausahaan, (5) berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif, (6) mengakses dan menganalisa informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu yang dan mampu berimajinasi.
Mempelajari sikap, perilaku, dan keterampilan manusia dalam organisasi dan/atau kelompok masyarakat dikategorikan dalam konsep perilaku organisasi (organizational behavior).
Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja ekstra time, membuat penrnyataan positif tentang kelompok, dan menghindari konflik yang tidak perlu merupakan perilaku yang diinginkan karena memberikan dampak positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organiaasi Luthan, 2008; ). Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastian, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi setiap organisasi yang mau belajar (learning organization). Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas p Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja ekstra time, membuat penrnyataan positif tentang kelompok, dan menghidari konflik yang tidak perlu memberikan fungsi positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organiaasi Luthan, 2008; ).
Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastion, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi organisasi. Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas peribadi tidaklah cukup mengingat keberagaman anggota organisasi baik dilihat dari kelompok etnis dan keyakinan mereka akan tradisi. Schermerhorn, Hunt and Orborn (2003) menekankan pentingnya etika dalam berorganisasi, karena seharusnya seluruh tindakan anggota organisasi dilakukan berdasarkan standar etika dan moral. Etika tidak hanya dicatat dalam peraturan organisasi tetapi harus dipraktekkan dalam organisasi, misalnya perlakuan yang adil.
D. KEARIFAN LOKAL MANDAILING
Setiap kelompok masyarakat memiliki apa yang kita kenal sebagai kearifan lokal (local indigenous) sebagai pedoman perilaku bermasyarakat yang bersumber dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Madaling sebagai salah satu kelompok etnis masyarakat di Propinsi Sumataera Utara, memiliki budaya tersendiri yang memiliki kesamaan dengan etnis lainnya. Jadi budaya mandailing tidak hanya dipahami oleh masyarakat sendiri, tetapi juga oleh kelompok etnis lain. Selain itu, kelompok etnis Mandailing, meskipun jauh dari ibukota propinsi Sumatara Utara, akan tetapi telah lama berinteraksi dengan kelompok etnis lainnya. Percampuran budaya antar kelompok etnis sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama sehingga diasumsikan pengenalan terhadap budaya Mandailing bukan lah sesuatu yang sulit.
Oleh karena berbagai alasan, pemahaman dan pelaksanaan budaya Mandailing terus mengalami kemunduran karena pada saat ini lebih sering terlihat dalam upacara-upacara perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing tertentu saja. Itu pun sudah cenderung dilakukan dengan tradisi baru atau menggunakan orang upahan misalnya dalam melaksanakan upacara adat. Sesungguhnya budaya atau adat istiadat Mandailing (demikian pula adat istiadat etnis lain di Sumatera Utara, seperti Batak, Simalungun, Karo, dan lain-lain) itu mencakup seluruh perilaku dan cara hidup (way of life) setiap warga Mandailing. Dikatakan mencakup seluruh perilaku dan cara hidup setiap warga Mandailing karena berisi nilai-nilai budaya (cultural values).
Nilai-nilai budaya Mandailing tersebut berupa norma-norma, kaidah-kaidah, dan aturan-aturan yang dianut dan dipatuhi setiap orang Mandailing dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi atau berperilaku. Meskipun isi dari sistem nilai budaya Mandailing sudah sering diabaikan, bahkan tidak dihayati dan diamalkan, tetapi masih dapat kita temukan misalnya dalam perumpamaan atau dalam nasehat seperti nasehat yang lima (poda na lima), upacara perkawinan, dan lain-lain. Poda na lima sekarang sering dijadikan sebagai slogan yang tidak dihayati dan juga tidak banyak yang mengamalkannya.
Asal mula dari adat Mandailing adalah rasa kasih sayang (olong). Kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Kasih sayang (olong) yang dimaksud oleh nenek moyang orang Mandailing bukan hanya sebagai hiasan di bibir saja atau slogan saja, tetapi harus dilaksanakan dalam kehidupan warga masyarakat Mandailing. Untuk melaksanakan rasa kasih sayang (olong) sesama orang Mandailing itu tentu harus ada mekanismenya berupa satu sistem nilai sosial atau sistem yang digunakan oleh semua orang Mandailing untuk melaksanakan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem sosial tersebut didasarkan pada kelompok kekerabatan yang diikat oleh (1) pertalian darah dan (2) pertalian perkawinan. Kelompok kekerabatan dimaksud dikenal sebagai mora, kahanggi dan anak boru.
Ketiga bentuk kelompok kekerabatan inilah yang dijadikan sebagai tumpuan (dalian) sistem nilai sosial tersebut. Sistem sosial ini dinamakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai dalian na tolu, makna harfiahnya tiga landasan (Lubis, 2009). Namun harus dipahami bahwa Mandailing bukan satu-satunya etnis yang memiliki dalian na tolu. Etnis Batak, Simalungun, Karo, Minang juga memiliki persamaan dengan dalian na tolu yang dimiliki etnis Mandailing.
Sistem sosial dalian na tolu difungsikan sebagai mekanisme untuk melaksanakan/ mengamalkan rasa kasih sayang (olong) yang merupakan asal mula adat (bona ni adat). Hal ini berlaku dalam setiap urusan hidup dan kehidupan masyarakat Mandailing. Hakikat dari adat dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat Mandailing disebut sebagai adat dalian na tolu. Selain dinamakan demikian ada pula orang yang menamakannya adat markoum marsisolkot karena orang Mandailing yang berada dalam ikatan dalian na tolu adalah sekaligus orang yang markoum marsisolkot. Adat Mandailing bertujuan untuk melaksanakan/mengamalkan rasa kasih sayang secara nyata dalam kehidupan orang-orang Mandailing yang markoum marsisolkot (memiliki pertaian darah dan/atau pertalian perkawinan). Adat dalian na tolu dapat difungsikan sebagai etika dalam urusan publik seperti pendidikan.
Sehubungan dengan adat dalian na tolu maka di masyarakat Mandailing dikenal pula istilah partuturan. Partuturan merupakan sistem sapaan yang dipergunakan dalam berinteraski oleh orang-orang Mandailing. Pada dasarnya sistem sapaan atau tutur ini diciptakan berlandaskan hubungan kekerabatan, baik karena pertalian darah ataupun karena pertalian perkawinan (Lubis, 2009). Setiap tutur berisi dan sekaligus melekat hak dan kewajiban orang yang mengucapkan dan menerima tutur tersebut, karena tutur dalam masyarakat Mandailing adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan adat atau pelaksanaan kasih sayang (olong) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap hidup bermasyarakat/berinteraski hampir semua orang setiap hari mengucapkan tutur. Kalau misalnya seseorang menyapa seseorang yang lain dengan mengatakan tulang, ini karena keduanya memiliki hubungan kerabat. Menurut adat Mandailing, orang yang mengatakan tulang itu tahu bahwa orang yang disapanya itu adalah saudara laki-laki dari ibunya atau mertuanya, maka keududukannya dalam adat adalah mora. Dengan demikian, dia harus mengetahui pula hak dan kewajibannya terhadap orang yang merupakan moranya. Hak dan kewajibannya terhadap moranya itu harus dia laksanakan sesuai dengan adat Mandailing dalam hal kesopanan (hapantunon). Sebaliknya, orang yang disapa dengan sapaan tulang tersebut harus pula mengetahui bahwa yang menyapanya dengan tutur tersebut adalah anak dari saudara perempuannya atau mungkin menantunya; maka keududukannya adalah anak boru dari si tulang. Dengan mengetahui hal itu maka dia harus tahu pula hak dan kewajibannya terhadap orang tersebut yang merupakan bere atau baberenya. Pihak mora harus tahu bahwa dia berhak menyuruh orang tersebut melakukan sesuatu karena orang itu adalah anak borunya; pada saat yang sama dia juga harus tahu bahwa dia wajib memperlakukan orang tersebut dengan cara yang persuasif (mangelek). Menurut adat Mandailing si tulang wajib memperlakukan anak borunya dengan persuasive (elek maranak boru) dan sebaliknya si anak boru wajib menjunjung tinggi mora (sangap marmora). Tutur lainnya dalam adat dalian na tolu adalah terhadap kahanggi. Pihak-pihak yang setara, bersaudara karena pertalian darah. Kedudukan sebagai kahanggi menandakan adanya kesetaraan dalam adat dalian na tolu.
E. PENERAPAN DALIAN NA TOLU DALAM PENDIDIKAN
Terminologi “think globally, act locally” sudah sering kita dengar dalam berbagai acara atau peristiwa. Meskipun kita hidup di abad 21 yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetesi global, namun perlu disadari bahwa suku bangsa yang memiliki “identitas” yang jelas adalah suku bangsa yang dapat bersaing di kancah kompetisi global. Identitas diri menjadi petunjuk tentang siapa kelompok itu sesungguhnya. Keadaan ini dapat diamati baik di pentas internasional maupun di pentas nasional. Indonesia memiliki beratus macam suku bangsa/etnis, akan tetapi yang “menonjol” tidak banyak (tanpa menyebut satu per satu). Oleh karena itu, jika ada sesuatu yang dapat ditonjolkan dari nilai-nilai budaya kelompok masyarakat tertentu, dan berlaku dalam segala urusan hidup dan kehidupan masyarakatnya, serta diyakini dapat diterapkan dalam urusan publik, seperti pendidikan di sekolah, maka sangat pantas untuk dipertimbangkan pelaksanaannya.
Agar sekolah dapat bertahan hidup lama, dan memberikan manfaat yang berharga bagi semua pihak, perlu sekolah dikelola dengan sungguh-sungguh berdasarkan nilai-nilai yang jelas sebagai landasan perilaku. Penerapan dalihan na tolu sebagai landasan (dalian) dalam urusan pendidikan di sekolah juga harus diikuti pula dengan menghindari penyakit dalam kehidupan bermasyarakat. Landasan yang dimaksud merupakan nilai-nilai bersama (shared values) memiliki kaidah-kaidah, yaitu: (1) sangap marmora, (2) manat markahanggi, dan (3) elek maranakboru. Kaidah-kaidah ini merupakan etika atau adab dalam melaksanakan mengelola organisasi sekolah.
Pertama, sangap marmora, maksudnya menjunjung tinggi mora, karena kita sudah hubungan kekerabatan (markoum marsisolkot) dengan beliau. Jika adat dalian na tolu dalam masyarakat Mandailing dianalogikan dengan warga sekolah. Siapakah yang disebut mora dalam organisasi sekolah. Dalam hal ini adalah Kepala Sekolah. Kepala Sekolah saat diangkat oleh pemerintah atau pengurus Yayasan, bukan oleh guru. Jika Kepala Sekolah telah ditetapkan, maka seluruh warga sekolah dan stakeholders harus menghormatinya, karena wewenang, tanggungjawab, dan kepercayaan telah diberikan kepadanya untuk memimpin organisasi sekolah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, manat markahangi, maksudnya setiap warga sekolah harus lenih peduli dengan apa yang terjadi diantara sesama saudara. Siapakah kahanggi dalam organisasi sekolah? Anggota organisasi, yaitu peserta didik, orangtua peserta didik. Anggota mesti kompak karena tanpa anggota yang lain kitapun tak berarti apa-apa. Kebersamaan harus diterapkan di kalangan anggota. Seluruh anggota organisasi adalah bersaudara, jadi harus peduli atas segala kondisi yang berkaitan dengan anggota dan kemajuan sekolah. Misalnya, jika ada pertemuan/rapat, maka anggota harus menghadirinya kecuali ada alasan ”yang dapat diterima”. Jangan pula diciptakan alasan yang tidak logis. Jika ada tugas, maka tugas yang diberikan harus diselesaikan dengan seksama. Dalam suatu kampung ada istilah ”orang lama” dan ”orang baru”. Orang lama biasanya sudah tahu letak geografis kampung, rumah siapa saja yang berwarna hijau atau merah; anak gadis siapa yang sudah dewasa, dan sebagainya. Perilaku orang lama adalah selalu ”menunduk”, dalam arti mengayomi atau menuruti aturan organisasi. Perilaku orang baru bisanya ”longang” (tercengang), dan bertanya-tanya dalam hati: ”rumah siapa yang berwarna hijau itu?”, ”kenapa begitu?”, atau lebih parah lagi: ”anak gadis siapa yang berambut merah itu?”, dan sebagainya. Jika hal ini dipakai untuk sekolah, maka implikasinya adalah anggota setia organisasi sekolah dianalogikan sebagai ”orang lama”, yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap maju mundurnya sekolah, prestasi, dan kondisi lainya; sedangkan anggota yang kurang atau tidak setia pada organisasi dianalogikan dengan ”orang baru”, cenderung melanggar aturan sekolah. Misalnya jarang datang jika diundang rapat, telat membayar iuran, tidak serius melaksanakan tugas yang diberikan, berbuat sesuka hatinya, dll. ”Orang baru” dapat menjadi penghalang program sekolah, dan pada akhirnya dapat menghambat tercapainya tujuan sekolah.
Ketiga, elek maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memiliki tenaga, pikiran, kekuatan atau yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya mereka lebih sabar pula. Anak boru ini sering pula disebut tungkol ngon lombang, siourus na lobi. Siapakah anakboru dalam organisasi sekolah? Pengurus dan anggota yang bekerja lebih banyak dapat disebut sebagai anak boru dalam organisasi sekolah, dalam hal ini pendidik dan staf sekolah lainnya. Sebagai anggota organisasi sekolah maka sudah sewajarnya jika pendidik dan staf memahami dan melaksanakan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Kepala sekolah harus pandai memperlakukan mereka secara persuasif (mangelek), jangan dibuat mereka mangkir melaksanakan tugas, atau melaksanakan tugas tidak serius (buncut), karena itu harus diciptakan suasana atau iklim organisasi saling marsihaholongan (saling menyayangi). Kalau para anak boru mangkir, maka dapat saja terjadi misalnya, peserta didik tidak memperoleh pelajaran/layanan terbaik dari pendidik dan staf sekolah, surat undangan tak dikirim ke tujuan, atau dibuang ke parit. Harus dijaga jangan sampai timbulperilaku destruktif dari pihak anak boru. Dalam hal ini kepala sekolah (mora) memiliki peran yang utama dalam memberdayakan anak boru dengan sebaik-baiknya.
Dalam adat Mandailing mora, kahanggi, dan anak boru dapat berubah posisinya sesuai dengan kepentingan adat istiadat. Jika saat ini misalnya si A menjadi mora, maka mungkin bulan depan posisinya sebagai anak boru di tempat lain. Di sekolah juga tidak selamanya kepala sekolah sebagai mora, karena ada rentang waktu menjabat sebagai kepala sekolah; ada pula tiba waktunya salah seorang pendidik menjadi kepala sekolah. Oleh karena itu, dalam menjalankan pengelolaan organisasi sekolah sebagai wujud pelayanan terhadap masyarakat perlu didasari dengan rasa kasih sayang (olong), karena kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Jika terjalin keakraban di antara seluruh warga masyarakat sekolah, maka dapat diasumsikan bahwa program sekolah, betapapun sulitnya, akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Bagaimana melaksanakan kaidah adat dalian na tolu dalam pendidikan di sekolah?. Bukankah warga sekolah tidak memiliki hubungan pertalian darah atau pertalian perkawinan? Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana menerapkan kaidah-kaidah (wujud kearifan lokal) dalian na tolu dalam pengeloaan pendidikan. Anggota atau warga sekolah tidak mesti memiliki hubungan pertalian darah (markoum marsisolkot), tapi bagaimana membuat mereka seperti markoum marsisolkot. Selama ini kita sering mendengar istilah Keluarga Besar Sekolah ….., maka dalam hal ini seluruh stakeholder pendidikan merupakan sebuah Keluarga Besar yang memerlukan Olong (kasing sayang), dikondisikan seperti markoum marsisolkot.
Sesungguhnya sama dengan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance atau GCG). Hanya saja GCG berasal dari masyarakat global sedangkan dalian na tolu adalah made in lokal. Jika ada kearifan local masyarakat di daerah ini yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam pendidikan, mengapa tidak kita coba. Jika sepakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menerapkan kaidah-kaidah adat dalian na tolu dalam pendidikan adalah sebagai berikut.
Langkah pertama: Pengenalan (marsitandaan) budaya Mandailing seluruh stakeholder pendidikan/sekolah. Hal ini didukung dengan literatur yang cukup dan nara sumber yang kompeten. Langkah kedua: Musyawarah (marpokat) antar stakelholder untuk membuat kesepakatan bersama tentang penerapan kaidah-kaidah dan nila-nilai budaya Mandailing dalam pengelolaan sekolah. Dalam hal termasuk mempertegas posisi, nilai-nilai bersama yang menjadi standar etika, penegasan hak dan kewajiban masing-masing stakeholder. Langkah ketiga: Menyusun rencana aksi (action plan) dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan atau 12 bulan pertama. Penerapan kaidah-kaidah, nilai-nilai, norma-norma diintegrasikan dalam aktivitas sekolah. Kegiatan ini diikuti pula dengan monitoring dan evaluasi. Langkah keempat: Menyusun program strategis sekolah dan menerapkan kaidah-kaidah dalian na tolu dalam seluruh aktivitas sekolah secara menyeluruh. Kegiatan ini diikuti dengan evaluasi setiap tahun.
Dalam upacara adat biasanya ada yang disebut Panitia, misalnya Panitia Horja (Pesta), maka semua tugas kepanitian untuk kegiatan pesta dibagi sampai habis. Semua pihak (kahanggi, anakboru, mora) memperoleh tugasnya masing-masing. Dalam implementasi di lapangan kira perlu dibuat pilot proyek oleh Pemerintah Daerah.
F. PENUTUP
Implementasi dalian na tolu sebagai landasan/etika/adab dalam mengelola pendidikan, harus diikuti pula dengan menghindari empat jenis “penyakit” yang dapat menganggu. Keempat penyakit tersebut adalah: (1) buruk sangka (su’uzzhon) kepada orang lain, (2) terlalu bangga dengan suatu jabatan yang akhirnya menjadi sombong, (3) mengungkit-ungkit jasa atau sumbangan yang telah diberikan kepada organisasi, (4) sifat gut-gut.
Pengelolaan pendidikan baik pada tingkat satuan pendidikan, atau tingkat kabupaten/kota, memerlukan suatu mekanisme yang jelas. Kejelasan mekanisme tersebut harus dilandasi dengan nilai-nilai yang disepakati bersama (shared values). Selain itu, pertemuan/rapat dalam rangka membahas program sekolah, atau rencana strategis sekolah, memerlukan kesepakatan awal (initial agreement) di antara stakeholder penddikan mau dibawa kemana pendidikan sekolah tersebut (arah). Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman 9misunderstanding). Sekolah masa di masa depan dapat bermimpi global tetapi tidak perlumalu dengan kearifan local, siapa tahu suatu saat justru kearifan local yang dimiliki masyarakat dapat menjadi transetter bagi masyarakat lainnya. Pemikiran ini tentu saja memiliki kelemahan, akan tetapi saat ini dan di masa depan, peluang dan tantangan yang dihadapi makin kompleks dalam mempersiapkan generasi muda untuk hidup survive dalam kompetisi global.
Referensi:
Lubis, Z. P. Kearah Penghayatan Adat Istiadat Mandailing, http://www.mandailing. org/ind/ rencana19.html, (diakses 9 Agustus 2009).
Luthans, Fred. Organizational Behavior (New York: McGraw-Hill, 2008).
Nelson, D. L. Organizational Behavior (Ohio: South Western-Thompson, 2006)
Rangkuti, Irsan, Organisasi dan Dalian Na Tolu, http://edinasution.wordpress.com/ 2009/06/01/organisasi-dan-dalian-na-tolu/ (1 Juni 2009).
Robbin, S. P. 2003. Essentials of Organizational Behavior (New Jersey: Prentice Hall, 2003).
Schermerhorn, J. R., Hunt, J. G. and Orborn, R. N. Organizational Behavior. Eight edition. ( New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2003).
Taylor, Carol., Lillies, Carol, and Le Mone, Priscilla. Fundamental Of Nursing Care, Third Edition (New York: Lippicot Philadelpia, 1997).
Wagner, Tony. The Global Achievement Gap (New York: Basic Book, 2008).
Langganan:
Postingan (Atom)